Senin, 14 November 2011

Hukum Usaha Warnet

Filled under:

HUKUM USAHA WARNET
 
Usaha warnet termasuk dari usaha muamalah sewa-menyewa, dan hukum asal dari semua muamalah maliah (harta) adalah halal dan mubah sampai ada dalil yang melarangnya.
Jika ada yang bertanya: Bukankah warnet bisa dijadikan tempat untuk melihat gambar-gambar yang terlarang, pacaran lewat chating, dan selainnya dari hal yang diharamkan?
Kami katakan: Kasus yang sama juga kita katakan bagi yang membuka wartel atau yang menjual HP (handphone) atau yang menyewakan kontrakan atau yang semacamnya, dimana penggunanya bisa menggunakannya untuk hal yang halal dan yang haram. Tapi apakah hal ini menyebabkan seseorang tidak boleh mendirikan wartel, tidak boleh jual beli HP, dan tidak boleh menyewakan rumah? Tentunya tidak.
Para ulama terdahulu mengharamkan menjual senjata pada zaman fitnah (perang sesama muslim) dan mengharamkan menjual anggur kepada siapa yang akan mengolahnya menjadi khamar. Tapi apakah itu berarti diharamkan menjual pisau dan anggur secara mutlak? Jawabannya juga tentu tidak diharamkan. Jadi pengharamannya terbatas kepada siapa yang sudah jelas akan menggunakannya ke dalam sesuatu yang haram.
Jika dia bertanya: Kalau begitu apakah kami (pengelola warnet) harus mengawasi setiap situs yang dibuka oleh penyewa? Baik secara langsung maupun dengan kamera atau yang semacamnya?
Kami katakan: Itu tidak harus bahkan tidak boleh dia melakukannya, karena belum tentu setiap orang yang datang ke warnet bertujuan untuk melakukan hal-hal haram yang kita sebutkan di atas, walaupun tetap saja ada orang yang kemungkinan menggunakannya untuk sesuatu yang haram. Hanya saja selama seseorang itu tidak jelas berbuat kemaksiatan maka tidak ada nahi mungkar, karena nahi mungkar hanya ditegakkan ketika kemungkaran itu sedang terjadi. Telah kami sebutkan pada pembahasan ‘amar ma’ruf dan nahi mungkar’ bahwa di antara syarat nahi mungkar adalah kemungkaran tersebut nampak dengan jelas dan terang-terangan, bukan perbuatan yang diketahui kemungkarannya dengan cara mengintip, mengawasi, atau memata-matai. Karenanya, siapa saja yang menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya maka tidak boleh ada seorangpun yang berhak untuk memata-matainya, sepanjang dia tidak menampakkan sesuatu dari kemungkarannya. Kapan dia menampakkan sesuatu dari kemungkarannya walaupun hanya diketahui oleh segelintir orang maka wajib bagi yang melakukan nahi mungkar untuk mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang memainkan alat musik di dalam rumahnya, akan tetapi suaranya terdengar oleh sebagian tetangganya atau sekelompok orang yang minum khamar di dalam rumah akan tetapi suara kegiatan mereka terdengar oleh sebagian orang, maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mengingkarinya.
Dan biasanya antara komputer satu dengan yang lainnya disertai sekat yang tidak memungkinkan orang di sampingnya bisa melihat ke komputernya. Jadi jika dalam keadaan tersembunyi seperti itu tidak boleh bagi siapapun (termasuk pemilik warnet) untuk memata-matai setiap pengguna dengan alasan jangan sampai dia berbuat maksiat. Sebagaimana tidak diperbolehkannya seorang pemilik kost-kostan untuk memata-matai semua kegiatan seorang pemuda (di dalam kamarnya) yang kost di tempatnya. Dan sebagaimana tidak bolehnya pemilik wartel menguping semua ucapan orang yang menelepon, jangan-jangan ada yang merencanakan maksiat, dan seterusnya.
Jika dia bertanya lagi: Kalau begitu kita biarkan saja semua penyewa warnet tanpa ada arahan dan nasehat?
Kami katakan: Itu juga tidak benar. Ketika kami katakan bahwa tidak ada nahi mungkar ketika kemungkaran belum terjadi, itu tidak menunjukkan tidak boleh menasehati, karena ada perbedaan yang jelas antara nahi mungkar dan nasehat. Nasehat dibutuhkan oleh siapa saja, terkhusus orang yang ada kemungkinan dia berbuat kesalahan, sementara nahi mungkar (sebagaimana namanya) hanya diberlakukan bagi yang jelas berbuat kemungkaran. Jadi sudah seharusnya bagi setiap pengelola warnet untuk memberikan nasehat kepada para pelanggannya agar jangan membuka situs-situs porno dan selainnya dari hal-hal yang diharamkan. Baik dalam bentuk selebaran yang diberikan kepada setiap pelanggan yang masuk, maupun dengan menempelkan peringatan tentang itu pada setiap unit komputer, tentunya pada tempat yang pasti dia akan membacanya. Bahkan dia bisa memberikan persyaratan pada setiap pengguna warnetnya agar tidak membuka situs porno dan semacamnya dari perkara yang jelas maksiatnya, dan bahwa pengelola warnet berhak menghentikan penggunaan internet ketika pengguna melanggar syarat tersebut.
Tapi kembali diingatkan akan tidak bolehnya seseorang memata-matai saudaranya, karena itu termasuk dari mencari-cari aib sesama muslim. “Dan barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya maka Allah akan mencari-cari aibnya, dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya maka Allah akan mempermalukannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmizi dari Abu Hurairah)
Jika dia bertanya lagi: Bagaimana jika tanpa sengaja (bukan karena mencari tahu dan memata-matai), saya (pengelola warnet) mendapati orang yang menggunakan warnet untuk maksiat?
Kami katakan: Dia wajib menghentikan segera pengguna itu, baik sebelumnya dia telah persyaratkan larangan itu kepada para pengguna maupun tidak. Karena tatkala kemungkarannya sudah nyata maka ketika itulah berlaku nahi mungkar. Dan dia sebagai pemilik barang yang disewa berhak -bahkan wajib- untuk merubah kemungkaran tersebut dengan menegurnya dan melarangnya. Jika dia patuh maka dia boleh melanjutkan penyewaannya, tapi jika tidak patuh maka pemilik warnet harus menghentikan penggunaan internetnya.
Jika dia bertanya lagi: Jika saya menyuruhnya menghentikan penggunaan internet sebelum habis waktunya, bagaimana dengan upah sewa internetnya?
Kami katakan: Jika sewanya permenit maka tentunya tinggal dihitung, tapi jika per-30 menit atau perjam lalu orang tersebut berhenti atau dihentikan sebelum waktunya maka dia hanya membayar waktu yang telah digunakan dan tidak boleh digenapkan atau dibulatkan. Allahumma kecuali kalau sudah dipersyaratkan sebelumnya bahwa sewa internet di tempatnya akan dibulatkan dan setiap pelanggan menyetujuinya, maka tidak masalah jika pemilik warnet membulatkannya. Wallahu a’lam.
Jika dia bertanya: Kalau begitu usaha warnet boleh secara mutlak?
Kami katakan: Di atas kami hanya membahas dari sisi muamalahnya. Artinya jika ada maksiat yang dipastikan terjadinya dalam praktek muamalah warnet ini maka membuka warnet ini dilarang, tapi bukan karena asalnya dia dilarang agama, akan tetapi karena adanya faktor dari luar yang menyebabkannya dilarang. Misalnya di dalam warnetnya ada pemutaran musik, terjadi ikhtilath (berbaurnya lelaki dan wanita yang bukan mahram), dan semacamnya. Maka jika hal seperti ini ada, tidak boleh seseorang membuka warnet karena adanya maksiat yang terjadi di dalamnya.
Adapun solusinya maka tentu saja dengan tidak memutar musik, akan tetapi bukan artinya boleh memutar murattal. Memutar murattal pada waktu itu bukanlah waktu yang tepat karena orang tidak akan konsentrasi mendengarnya, sementara seorang muslim diperintahkan untuk memperhatikan ketika dibacakan Al-Qur`an kepadanya. Adapun masalah ikhtilath, maka dia bisa menjadwalkan atau memisahkan waktu bagi pengguna lelaki dan wanita, dan operatornyapun disesuaikan dengan pengunjungnya, agar tidak terjadi iktilath. Yang jelas ketika seseorang berusaha untuk menaati syariat insya Allah Allah akan membantunya.
Catatan:
1.    Jawaban yang serupa juga diperuntukkan bagi penyedia webhosting.
2.    Kami hanya membahas hukum boleh tidaknya. Adapun masalah afdhal tidaknya, maka tentunya lebih utama dia membuka usaha lain yang tidak ada kemungkinan pelanggannya bisa memanfaatkan dirinya untuk melakukan maksiat.
Demikian yang bisa kami jawab, jika ada yang benar maka datangnya dari Allah dan jika ada yang salah maka datangnya dari diri kami, wallahu Ta’ala a’la wa a’lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-buka-warnet-menjual-webhosting.html

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I12.03

Menjual Barang Halal, Namun Untuk Tujuan Haram

Filled under:

Menjual Barang Halal, Namun untuk Tujuan Haram


                                                                 Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah.” (QS. Al Maidah: 2)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ
“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya.” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
[Komentar Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 1269 mengenai hadits ini: Al Hafizh Ibnu Hajar keliru dalam menilai hadits ini. Beliau tidak mengomentari hadits ini dalam At Talkhish (239) dan Al Hafizh mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Awsath dengan sanad yang hasan. Syaikh Al Albani menukil perkataan Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal yang mengatakan bahwa dia berkata pada ayahnya tentang hadits ini. Ayahnya menjawab bahwa hadits ini dusta dan batil. Syaikh Al Albani sendiri menyimpulkan bahwa hadits ini bathil]
Walaupun hadits ini dinilai batil oleh sebagian ulama, namun banyak ulama yang mengambil faedah dari hadits ini karena hadits ini termasuk dalam keumuman surat Al Maidah ayat 2 di atas.
Penjelasan Ash Shon’ani
“Hadits ini adalah dalil mengenai haramnya menjual anggur yang nantinya akan diolah menjai khomr karena adanya ancaman neraka yang disebutkan dalam hadits. Kalau memang menjual anggur pada orang lain yang diketahui akan menjadikannya khomr, maka ini diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun jika tidak diketahui seperti ini, Al Hadawiyah mengatakan bahwa hal ini diperbolehkan namun dinilai makruh karena ada keragu-raguan kalau anggur ini akan dijadikan khomr. Adapun jika sudah diketahui bahwa anggur tersebut akan dijadikan khomr, maka haram untuk dijual karena hal ini berarti telah saling tolong menolong dalam berbuat maksiat.
Adapun jika yang dijual adalah nyanyian, alat musik dan semacamnya, maka tidak boleh menjual atau membelinya dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Begitu juga menjual senjata dan kuda pada orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, maka ini juga tidak diperbolehkan.” (Subulus Salam, 4/139, Mawqi’ Al Islam)
Penjelasan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Tidak sah jual beli, jika diketahui akan digunakan untuk yang haram seperti hasil perasan (seperti perasan anggur, pen) yang akan diolah menjadi khomr. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Juga tidak diperbolehkan menjualnya jika ada sangkaan kuat akan digunakan untuk yang haram sebagaimana salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Hukum menyewakan rumah pada orang yang akan menggunakan rumah tersebut untuk maksiat
Adapun para ulama Hanabilah mengatakan, “Seandainya pemilik rumah mengetahui bahwa orang yang menyewa rumah tersebut akan menggunakan rumah itu untuk maksiat seperti digunakan untuk menjual khomr dan selainnya, maka pemilik rumah tidak boleh menyewakannya kepada orang tadi. Sewa tersebut tidak sah. Hukum jual beli dan sewa menyewa dalam hal ini adalah sama. ” (Al Ikhtiyarot Al Ilmiyah Li Syaikhil Islam, hal. 108, Mawqi’ Misykatul Islamiyah)
Jika ada yang bertanya: Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa orang yang membeli ini akan menggunakan perasan tadi untuk dijadikan khomr atau dia meminum langsung?
Syaikh Abu Malik menjawab, “Cukup dengan sangkaan kuatmu. Jika orang tersebut terlihat adalah orang yang sering membeli perasan untuk dijadikan khomr, jadilah haram menjual barang tersebut padanya. Karena jika kita tetap menjualnya berarti kita telah menolongnya dalam berbuat dosa dan melanggar batasan Allah. Padahal Allah melarang bentuk tolong menolong seperti ini. Jika orang tersebut menurut sangkaan kuat tidak demikian, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak terlarang.” (Shohih Fiqih Sunnah, 4/409)
Kesimpulan:
1. Jika barang yang dijual pada asalnya halal lalu diketahui atau berdasarkan sangkaan kuat akan digunakan oleh pembeli untuk maksud yang haram, maka jual beli tersebut tidak sah dan haram.
2. Jika barang yang dijual pada asalnya halal dan tidak diketahui akan digunakan oleh pembeli untuk yang haram, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak terlarang. 
3. Jika menyewakan sesuatu (rumah, komputer seperti warnet, dll) yang pada asalnya halal lalu diketahui atau berdasarkan sangkaan kuat akan digunakan oleh penyewa untuk maksud yang haram (maksiat), maka sewa menyewa tersebut hukumnya tidak syah dan haram.
4. Jika menyewakan sesuatu (rumah, komputer seperti warnet, dll) yang pada asalnya halal dan tidak  diketahui akan digunakan oleh penyewa untuk maksud yang haram (maksiat), maka sewa menyewa tersebut hukumnya tetap syah dan tidak terlarang. adapun akibat dari perbuatan haram (maksiat) tersebut merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari penyewa.
Wallahu a'lam bishshowab
 
[sumber: rumaysho.com]

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.58

Hukum Memakan Makanan Pemberian Non Muslim

Filled under:

HUKUM MEMAKAN MAKANAN PEMBERIAN NON MUSLIM
Halal haramnya makanan tidak diukur dari siapa yang memberikan, melainkan dar itolok ukur yang sudah baku. Yang pertama adalah dari cara mendapatkannya, sedangkan yang kedua dari zatnya.
Dari cara mendapatkannya, suatu makanan bisa menjadi haram untuk dimakan. akan tetapi titik keharamannya bukan pada makanan itu, tetapi dari hukum cara mendapatkannya. Misalnya makanan yang dibeli dari uang hasil mencuri, korupsi, manipulasi, memeras, menipu, menyogok, membungakan uang dan seterusnya.
Dari keharaman zatnya, pada dasarnya semua makanan itu halal, kecuali yang namanya atau kriterianya disebutkan di dalam nash-nash suci, baik Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaitkan kehalalan makanan orang kafir , selama tidak ada penyimpangan dari dua tolok ukur di atas, hukumnya adalah halal. Maka makanan pemberian non muslim, selama bukan dari hasil-hasil kejahatan di atas, hukumnya halal. Demikian juga, makanan pemberian orang kafir yang tidak disebutkan keharamannya secara tegas di dalam dua sumber hukum Islam, baik namanya atau pun kriterianya, hukumnya halal.
Di antara jenis makanan orang kafir yang diharamkan adalah daging hewan yang disembelih oleh mereka yang beragama selain Nasrani dan Yahudi. Sedangkan sembelihan Nasrani dan Yahudi hukumnya halal bagi umat Islam, meski tanpa menyebut nama Allah. Sebab kebanyakan ulama tidak menjadikan penyebutan nama Allah SWT sebagai syarat sahnya penyembelihan.
Hal tersebut di atas juga senada dengan penjelasan al Quran surat al-Maidah ayat 5 :
اليَومَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُ ۖ وَطَعامُ الَّذينَ أوتُوا الكِتٰبَ حِلٌّ لَكُم وَطَعامُكُم حِلٌّ لَهُم
 artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka ...
Juga hewan yang ketika disembelih, diniatkan untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh atau sesembahan lainnya. Misalnya hewan-hewan yang disembelih untuk sesajen makhluk halus, karena mengharapkan bantuannya. Atau syarat yang diberikan oleh dukun tertentu, sebagai penolak bala bencana dan sejenisnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. al Maidah ayat 3 :
حُرِّمَت عَلَيكُمُ المَيتَةُ وَالدَّمُ وَلَحمُ الخِنزيرِ وَما أُهِلَّ لِغَيرِ اللَّهِ بِهِ وَالمُنخَنِقَةُ وَالمَوقوذَةُ وَالمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطيحَةُ وَما أَكَلَ السَّبُعُ إِلّا ما ذَكَّيتُم وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ 
Artinya :  Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala ...
Nampaknya halal haramnya jenis makanan yang terkait dengan makanan dari non muslim hanya seputar kedua hal ini saja. Yaitu bila disembelih oleh orang kafir selain ahli kitab atau disembelih secara sengaja sebagai persembahan dewa atau berhala.
Selebihnya, halal haramnya makanan bersifat umum, tidak dipengaruhi apakah sumbernya dari orang kafir atau muslim.
Wallahu a,lam bishshowab ...

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.51

Hukum Menghadiri Resepsi Pernikahan non Muslim

Filled under:

HUKUM MENGHADIRI RESEPSI PERNIKAHAN NON-MUSLIM



Manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang selalu butuh pada orang lain. Si kaya butuh pada si miskin, yang kuat butuh pada yang lemah, begitu juga sebaliknya, dan lain sebagainya. Karena sebagai makhluk sosial itulah setiap manusia butuh berinteraksi dengan orang lain.
Interaksi yang terjadi sudah dalam lintas budaya, ras, bahasa, negara, bahkan agama. Itu semua terjadi demi terpenuhinya kebutuhan hidup. Sehingga perbedaan-perbedaan sama sekali tidak menjadi persoalan. Kalau masih ada orang yang menganggap perbedaan merupakan halangan untuk beriteraksi, maka ia masih belum memahami makna hidup yang sebenarnya.
Sekarang kita bisa melihat di negeri ini dengan mudah contoh interaksi yang baik, walau berbeda agama. Dari adanya interaksi yang baik itu, maka hubungan emosional bisa terbangun. Ketika tetangga atau teman yang non muslim gembira, maka si muslim pun juga ikut gembira, begitu pula sebaliknya. Saat si muslim sedih mereka ikut sedih, begitu pun sebaliknya. Apalagi ketika yang non muslim tersebut masih merupakan sanak keluarga.
Hubungan emosional yang baik itu misalnya diwujudkan dengan turut diundangnya si muslim menghadiri resepsi pernikahan mereka, yang notabene non muslim. Sebagai wujud penghormatan, si muslim pun akan menghadirinya. Ketika si muslim menghelat resepsi pernikahan, pun tak lupa kerabat, kawan atau tetangga yang non muslim turut diundang. Hal seperti ini sudah sering terjadi di lingkungan kita. Apalagi bagi seorang muslim yang hidup di tengah-tengah non muslim.    
Hal ini lah yang akan menjadi pembahasan Tadris pada edisi kali ini. Bagaimana hukum menghadiri pernikahan orang non muslim? Dan bagaimana pula hukum mengundang non muslim menghadiri resepsi pernikahan kita? 
Resepsi pernikahan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah walîmah 'urs. Ketika diucapkan kata walîmah, tanpa menampilkan kata 'urs juga bermakna resepsi pernikahan. Sedangkan untuk menunjukkan selain resepsi pernikahan, maka harus manambah kata di belakang kata walîmah itu, seperti walîmah khitan. Sebab pada dasarnya kata walîmah memang dipakai untuk menunjukkan makna resepsi pernikahan.
Walîmah dilaksanakan tidak lain ialah untuk memberitahukan pada khalayak ramai bahwa ada dua insan telah berjanji untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tentu memberitahu adanya pernikahan itu sangat penting, mengingat nikah merupakan hal yang sakral, dan nikah juga mengubah hukum haram jima' menjadi halal, serta beberapa rentetan imbas dari nikah.
Walaupun walîmah sangat penting, namun ulama bersilang pendapat berkenaan apakah walîmah itu wajib atau hanya sunnah. Yang berpendapat wajib mendasarkan pendapatnya pada perintah Nabi untuk melakukan walîmah. Sementara yang berpendapat sunnah beralasan karena akad nikah sendiri tidak wajib, maka walimahnya juga tidak wajib. [al-Hâwiy al-Kabîr, XII:191]
Bukan hanya di situ pertentangan ulama berkaitan dengan walimah. Ulama juga berselisih pendapat berkenaan dengan hukum menghadiri undangan walîmah. Dalam hal ini mereka terkelompok menjadi dua, yaitu: berpendapat wajib dan sunnah. [Raudhatu al-Thâlibîn wa Umdatu al-Muftîn, III:64]
Jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah ada di pihak yang berpendapat wajib. Sedangkan ulama yang berpendapat sunnah ialah kalangan Hanafiyah dan sebagian Syafi'iyah. [al-Fiqhu al-Islâm wa Adillatuhu, IX:115]
Jumhur ulama berdalil dengan beberapa Hadits, diantaranya:
إذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
  "Apabila salah satu di antara kalian diundang untuk (menghadiri) resepsi pernikahan, maka penuhilah (undangan itu)" [Shahîhu al-Muslim, IX:224]
Dalam Hadits tersebut rasulullah secara tegas memerintahkan seseorang yang diundang dalam resepsi untuk menghadirinya. Bentuk perintah itu diwujudkan dengan kata فَلْيُجِبْ . Kata يُجِبْ pada dasarnya bukan menunjukkan perintah, akan tetapi karena bersama dengan huruf lam amr (lam yang menunjukkan perintah), maka berubah menjadi bentuk perintah.
Setiap perintah menunjukkan makna wajib, selama tidak ada dalil yang menunjukkan pada makna lain. Oleh karena itu, perintah dalam Hadits tersebut bermakna wajib. Demikianlah alur fikir yang digunakan oleh jumhur ulama, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa menghadiri undangan resepsi pernikahan hukumnya wajib. [Ushûl al-Fiqh Abdul Wahhâb Khallâf:13]
Penunjukan amr (perintah) pada makna wajib ini juga diperkuat oleh Hadits lain,
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
"Barang siapa meninggalkan (tidak menghadiri) undangan, maka ia telah tidak menaati Allah dan Rasul-Nya". [Shahîhu al-Bukhâri, VXII:271]
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang tidak menghadiri undangan tidak mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Secara tidak langsung Hadits ini menjelaskan bahwa orang itu telah melakukan dosa. Sedangkan salah satu penyebab dari dosa ialah meninggalkan kewajiban. Berarti memang sudah pas, kalau perintah untuk menghadiri undangan itu menunjukkan terhadap wajib, bukan sunnah. Karena kalau hanya sunnah ditinggalkan tidak sampai dianggap dosa.
Selanjutnya, yang menjadi persoalan inti dalam pembahasan kali ini, apakah kewajiban itu tetap berlaku ketika yang mengundang adalah orang non muslim?
Seperti yang biasa terjadi, para ulama juga berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendapat wajib, sebagaimana menghadiri undangan resepsi pernikahan orang muslim. Dengan landasan bahwa perintah menghadiri walimah itu bersifat umum, mencakup muslim dan non muslim. Oleh karenanya, maka menghadiri undangan non muslim juga wajib. [al-Hâwiy al-Kabîr, XII:94]
Sedangkan jumhur ulama yang pada awalnya mengatakan wajib menghadiri undangan, dalam masalah ini mereka mengatakan tidak wajib, karena kewajiban itu berlaku ketika tidak ada hal yang menggugurkan kewajiban tersebut. Diantara hal yang dapat menggugurkan kewajiban ialah: kedatangannya akan membantu kezhaliman atau kemaksiatan, ada orang yang merasa sakit hati dengan kedatangannya, dan di tempat walimah ada kemungkaran, semisal minum bir.
Di samping itu, jumhur juga menetapkan beberapa syarat, yaitu: pengundang harus baligh, berakal, dewasa, merdeka, dan beragama Islam. Selain itu undangannya bersifat jelas, semisal melalui surat atau disampaikan secara langsung, serta undangannya itu tidak tertentu pada orang-orang kaya. [Raudhatu al-Thâlibîn,III,64; Kifâyatu al-Akhyâr, I:498]
Untuk menentukan hukum menghadiri undangan walimah non muslim ini, mari keluar terlebih dahulu dari dua pendapat di atas dan simak ayat berikut ini,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berlaku baik dan berbuat adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu". [QS. Al-Mumtahanah: 08]
Allah tidak mempermasalahkan kita untuk bersikap baik pada orang non muslim, khususnya dzimmiy. Walaupun agama berbeda, sikap baik harus tetap terbina, agar tercipta hubungan yang baik pula. Bahkan rasulullah melarang umatnya untuk menyakiti dzimmy. Beliau pernah bersabda,
مَنْ آذَى ذِمِّياً فَأَناَ خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمُهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang menyakiti kafir dzimmiy (kafir yang berdamai dengan kita), maka akulah musuhnya. Dan barang siapa yang bermusuhan dengan aku, aku juga akan memusuhinya nanti di hari kiamat." [Jâmi'u al-Ahâdits, XIX:461]
Salah satu bentuk sikap baik tentu dengan menghadiri undangan resepsi pernikahannya. Dengan hadir berarti kita sudah menghargai undangan mereka dan mereka akan merasa senang dengan kehadiran kita, dan hal ini akan mempererat tali silaturrahmi.
Namun timbul persoalan, yaitu kadang-kadang makanan mereka merupakan sesuatu yang haram atau najis. Mengingat ada sebagian barang haram yang jadi menu makanan mereka, atau proses pembersihannya tidak memenuhi syarat, sehingga dimungkinkan makanan itu bisa najis. Orang Islam pun terkadang merasa jijik dengan makanan mereka. Selain itu, harta mereka dimungkinkan berasal dari sesuatu yang haram, sebab tasharruf (transakasi) mereka itu bisa fasid (rusak, tidak sah), semisal didapat dari menjual minuman keras. Karena alasan seperti inilah jumhur bependapat tidak wajib mendatangi undangan resepsi dari non muslim. [Syarhu al-Kabîr, VIII:108; al-Mughnîy, XV:493]
Nah, sekarang ada dua hal yang bertolak belakang, satu sisi ada keharusan untuk menghadiri undangan resepsi, di sisi lain ada beberapa hal yang menghalangi hal itu. Untuk mengatakan wajib khawatir haram dengan beberapa alasan yang disebutkan di atas, sedangkan untuk mengatakan haram khawatir hal itu wajib, dengan beberapa alasan yang telah disebutkan juga.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kita bisa mengambil jalan tengah, yakni bahwa menghadiri resepsi non muslim hukumnya sunnah. Dengan begini kita sudah mengamalkan kedua pendapat ulama yang mengatakan wajib menghadiri dan yang tidak, tanpa mengabaikan salah satunya. Ini selaras dengan kaidah,
الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
"Keluar dari perbedaan itu lebih disenangi". [al-Madkhal ila Qawâ'idi al-Fiqhiyyah: 173]
Hukum sunnah ini juga dilontarkan sebagian ulama. Hanya saja mereka menambahkan bahwa kesunnahannya itu tidak sama nilainya dengan kesunnahan menghadiri undangan orang muslim, yang oleh sebagian ulama memang diputuskan sebagai kesunnahan. Ada juga yang berpendapat bahwa kesunnahan itu berlaku hanya ketika si dzimmy merupakan kerabat, tetangga, atau bisa diharapkan untuk masuk Islam. [I'ânatu al-Thâlibîn, III:408; Tuhfatu al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj, XXXI:390]
Sedangkan mengenai makanan dan harta si pengundang juga kita tidak perlu terlalu dipermasalahkan, dengan catatan kita tidak tahu bahwa itu haram atau najis maka kita bisa memakannya. Toh, harta orang Islam pun juga bisa dimungkinkan diperoleh melalui jalan haram, padahal kita tidak mempermasalahkannya. Terlebih, memakan sesuatu yang dihidangkan juga bukan keharusan, para ulama hanya menghukumi sunnah. Kalau memang mau sangat berhati-hati tidak perlu memakan makanan yang dihidangkan. [Marqatu al-Mafâtih Syarhu Misykâtu al-Mashâbih, X:161]
Menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad yang berasal dari shahabat Anas,  menyebutkan bahwa Nabi pernah diundang oleh orang Yahudi untuk makan roti yang terbuat dari gandum dan Nabi pun menghadiri undangan tersebut. Tapi tidak dijelaskan apakah Nabi memakan roti yang dihidangkan atau tidak. Hadits ini juga lebih memperjelas bahwa permasalahan makanan ini tidak menjadi penyebab seseorang mengurungkan niatnya untuk menghadiri resepsi pernikahan dzimmy. [Tuhfatu al-Ahwâdz, III:165; Umdatu al-Qârîy, XX:158]
Kalau sejak awal membahas tentang menghadiri resepsi pernikahan non muslim, lantas bagaimana hukum mengundang non muslim untuk datang dalam resepsi pernikahan muslim?.
Untuk menjawab persoalan ini, kita bisa kembali lagi pada pembahasan "bagaimana seharusnya sikap seorang muslim pada non musli,". Dan di atas sudah dijelaskan bagaimana orang Islam juga berbuat baik pada non muslim, ya salah satunya dengan mengundang mereka dalam acara resepsi. Sehingga tidak ada hal yang melarang seorang muslim mengundang mereka.
Terlebih kalau antara si muslim dan non muslim ada hubungan erat, misalnya hubungan saudara, teman karib, atau tetangga. Bahkan ketika gambarannya seperti ini dan mereka tidak turut diundang, maka mereka bisa sakit hati dan merasa tidak dianggap lagi. Ini tentu ujung-ujungnya akan menimbulkan hal yang tidak baik. Padahal hubungan baik dengan siapapun harus tetap dibina.
Mempertimbangkan hal itu semua, sudah selayaknya bagi  kita sebagai orang Islam untuk menghormati undangan resepsi non muslim. Yang terpenting, tujuan kita baik, yaitu toleransi antaragama, tanpa menggadaikan akidah kita. Begitu juga mengundang mereka dalam resepsi pernikahan yang kita adakan. Dengan demikian, Islam semakin terlihat sebagai agama yang ramah pada setiap umat manusia.
 
Sumber : http://elkafi.net/artikel-147-menghadiri-walimah-nonmuslim.html

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.48

Hukum Memakai kondom

Filled under:

 HUKUM MEMAKAI KONDOM



Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan yang banyak. Baik dari segi kuantitas maupun dari kualitas. Sejak dari memilih calon isteri, Rasulullah SAW mengisyaratkan untuk mendapatkan isteri yang punya potensi untuk memiliki anak. Beliau bersabda:
Nikahilah wanita yang banyak anaknya karena aku (Rasulullah SAW) berlomba dengan umat lainnya dalam banyaknya umat pada hari qiyamat. (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Namun perintah memilih wanita yang subur sebanding dengan perintah untuk memilih wanita yang shalihah dan baik ke-Islamannya.
Adapun hukum pencegahan kehamilan, apabila memenuhi syarat dan alasan syar'i, hukumnya dibolehkan.


Di antara syarat-syarat yang utama antara lain:

1. Motivasi
Motivasi yang melatar-belakanginya bukan karena takut miskin, kelaparan atau takut tidak kebagian rezeki. Rasa takut seperti ini bertentangan dengan iman kepada Allah dan sifat-nya, yaitu sifat Ar-Raaziq yang berarti Tuhan Yang Maha Memberi rizki.
Yang dibenarkan adalah mencegah sementara kehamilan untuk mengatur jarak kelahiran itu sendiri. Jeda waktu seperti ini mutlak diperlukan agar bisa mendapatkan kualitas keturunan yang baik. Sebab setiap bayi memerlukan masa tertentu untuk mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ibunya.
Alasan lainnya yang juga boleh dijadikan bahan pertimbangan, misalnya karena pertimbangan medis berdasarkan penelitian ahli medis berkaitan dengan keselamatan nyawa manusia bila harus mengandung anak. Dalam kasus tertentu, seorang wanita bila hamil bisa membahayakan nyawanya sendiri atau nyawa anak yang dikandungnya. Dengan demikian maka dharar itu harus ditolak.


2. Metode atau alat pencegah kehamilan
Selain masalah motivasinya, yang harus dijadikan pertimbangan dalam pencegahan kehamilan adalah metode atau alat yang digunakan.
Metode pencegah kehamilan serta alat-alat yang digunakan haruslah yang sejalan dengan syariat Islam. Ada metode yang secara langsung pernah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW dan para shahabat dan ada juga yang memang diserahkan kepada dunia medis dengan syarat tidak melanggar norma dan etika serta prinsip umum ketentuan Islam.
Contoh metode pencegah kehamilan yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW adalah`azl. Dalil kebolehannya adalah hadits berikut ini:
Dari Jabir berkata, "Kami melakukan `azl di masa Nabi saw sedang Al-Qur`an turun." (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir berkata, "Kami melakukan `azl di masa Rasulullah saw, dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya." (HR muslim).
Sedangkan metode di zaman ini yang tentunya belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW membutuhkan kajian yang mendalam dan melibat para ahli medis dalam menentukan kebolehan atau keharamannya.


Penggunaan Kondom
Bila dari sisi motivasinya sudah dibenarkan, masalah penggunaan kondom bisa kita kupas, apakah termasuk alat yang dibolehkan atau tidak.
Mekanisme kerja kondom ini adalah menghalangi masuknya sperma ke dalam vagina. Maka kondom tidak termasuk membunuh sperma tetapi sekedar menghalangi agar tidak masuk dan bertemu dengan ovum sehingga tidak terjadi pembuahan.
Kebanyakan para ulama mengharamkan alat kontrasepsi apabila alat itu berfungsi membunuh sperma. Bukan sekedar menghalangi masuknya. Sehingga tidak terjadi unsur pembunuhan, meski pun hanya sperma.
Beberapa ulama menegaskan bahwa meski sperma itu belum menjadi janin, tetap saja harus dihormati. Apalagi bila sperma ini sudah sampai membuahi ovum dan terbentuk zygot. Ternyata tidak sedikit alat kontrasepsi yang sangat sadis hingga tetap terus berupaya membunuh calon bayi meski sudah sampai ke tingkat zygot.
Di antaranya morning-after pill, yaitu alat kontrasepsi darurat berbetuk pil yang mengandung levonogestrel dosis tinggi, bisa digunakan maksimal 72 jam setelah senggama. Keamanan pil ini sebenarnya belum pernah diuji pada wanita, namun FDA (Food and Drug Administration) telah mengizinkan penggunaannya.
Cara kerja kontrasepsi darurat ini adalah menghambat ovulasi, artinya sel telur tidak akan dihasilkan. Selain itu dia merubah siklus menstruasi, memundurkan ovulasi. Dan juga melakukan proses mengiritasi dinding uterus, sehingga jika dua metode di atas tidak berhasil dan telah terjadi ovulasi, maka zigot akan mati sebelum zigot tersebut menempel di dinding uterus. Pada kasus ini pil ini disebut juga `chemical abortion`.
Adapun kondom, fungsinya hanya sekedar mencegah bertemunya sperma dengan ovum. Bahkan tidak sempat masuk ke vagina atau leher rahim. Sehingga posisinya memang sejajar dengan 'azl yang dilakukan oleh para shahabat nabi SAW di masa lalu. Sehingga umumnya para ulama sependapat bahwa hukum pemakaian kondom ini sama dengan melakukan 'azl.
Namun jangan kaget kalau ada sebagian ulama yang tetap bersikeras mengharamkan 'azl. Hadits-hadits yang membolehkannya bukan ditentang, namun dipermasalahkan kedudukannya. Walhasil, ketika di masa kini ada kondom, mereka pun juga ikut mengharamkannya. Namun ini hanyalah pendapat sebagian ulama saja. Tentu saja latar belakang mereka karena kehati-hatian dalam beragama.
Kita patut menghargai pendapat mereka, tetapi bukan berarti apa yang mereka katakan 100% benar dan wajib diikuti. Namanya masalah khilafiyah, tentu saja kebenarannya masih mungkin diperdebatkan. Buat kita, pilih yang mana saja boleh, asalkan kedua pendapat itu sudah didukung oleh para ulama yang ahli di bidangnya, serta hujjah yang kuat.


Artikel oleh : Ahmad Sarwat, Lc.

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I09.01

Hukum Memakan Kepiting

Filled under:

HUKUM MEMAKAN KEPITING



 1. FATWA MUI

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., setelah

MENIMBANG
  1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
  2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
MENGINGAT
  1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :
  2. “Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 168).
  3. “(yaitu) orang yang mengikutRasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf[7]: 157).
  4. Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan panjang,………. ‘(OS.al-Baqarah[2] : 172).
  5. Kemudian Nabi menceritakan seoranglaki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit iaberdoa, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan (komentar),’Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas haramnya),kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR.Muslim).
  6. Hadis Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya” (HR. Khat-iisa11),
  7. ()atidah finhiyyah ? Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya
  8. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUIPeriode 2001-2005
  9. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan :
  1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Ma’rifah Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar’al -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan
  2. Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbainidalam Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t ar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatanglaut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalamMinhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan ole hal-Syarbaini :
  3. Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr,1992), Juz lll, halaman 249 tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”
  4. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggota Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasanyang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.
  5. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada RapatKornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002M. antara lain sebagai berikut :
  6. Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu :
  • Scylla serrata,
  • Scylla tranquebarrica,
  • Scylla olivacea, dan
  • Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
1. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan:
  • Bernafas dengan insang.
  • Berhabitat di air.
  • Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.
2. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas(lili._angka 1) hanya ada yang :
  • hidup di air tawar saja
  • hidup di air taut saja, dan
  • hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.
Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan di darat :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING
  1. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.
  2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana, mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabi’ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M
KOMISI FATWA MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris,
DRS. HASANUDIN, S.Ag.
2. PENDAPAT MENURUT 4 MADZHAB
Kebanyakan orang beranggapan bahwa kepiting itu termasuk yang diharamkan, karena dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam (barma’i). Padahal tentang hukum hewan barma’i itu sendiri termasuk masalah yang diperdebatkan (masalah khilafiyah), suatu masalah yang tidak bisa dijatuhkan hukum yang qath’i (mutlak).

Sebelum berbicara mengenai hukum barma’i, sebenarnya di kalangan ahli ilmu (ulama dan ilmuwan) juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah tidak. Karena ada penelitian dari sementara kalangan peneliti dan menemukan bahwa kepiting yang sering dijual orang itu bukan termasuk kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya, bila ada hewan air yang mampu bertahan hidup di darat, belum tentu juga dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini menyimpulkan bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah termasuk kelompok barma’i (hidup di dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini dianggap halal.

Sedangkan masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan barma`i itu sendiri, merupakan masalah khilafiyah sehingga tidak bisa dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok, kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama madzhab yang empat berbeda pendapat menjadi tiga :

1. Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah
Dua madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan. Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, Ishaq, Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.

Dalam kitab Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Hakim. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i)

Silahkan periksa juga Al-Lubab Syarhil Kitab jilid 3 halaman 230, Takmilatul Fathi jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 halaman 298 dan kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 250.

2. Al-Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan (kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.

Silahkan periksa kitab Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 172.

3. Al-Hanabilah
Sedangkan para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka tidak perlu menyembelih.
Kepiting menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.

Silahkan periksa kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 606 dan kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 6 halaman 202.
3. ANALISIS
 
Ibnu  Hajar  berkata :
فعند الحنفية وهو قول الشافعية يحرم ما عدا السمك واحتجوا عليه بهذا الحديث

Menurut mazhab hanafi dan pendapat ulama madzhab Syafii  selain ikan tetap di haramkan .Mereka  berpegangan kepada hadis ikan besar yang pernah di makan  sahabat sbb :
Jabir  ra berkata :
وَزَوَّدَنَا جِرَابًا مِنْ تَمْرٍ لَمْ يَجِدْ لَنَا غَيْرَهُ فَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ يُعْطِينَا تَمْرَةً تَمْرَةً قَالَ فَقُلْتُ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ بِهَا قَالَ نَمَصُّهَا كَمَا يَمَصُّ الصَّبِيُّ ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنَ الْمَاءِ فَتَكْفِينَا يَوْمَنَا إِلَى اللَّيْلِ وَكُنَّا نَضْرِبُ بِعِصِيِّنَا الْخَبَطَ ثُمَّ نَبُلُّهُ بِالْمَاءِ فَنَأْكُلُهُ قَالَ وَانْطَلَقْنَا عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ فَرُفِعَ لَنَا عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ كَهَيْئَةِ الْكَثِيبِ الضَّخْمِ فَأَتَيْنَاهُ فَإِذَا هِيَ دَابَّةٌ تُدْعَى الْعَنْبَرَ قَالَ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ مَيْتَةٌ ثُمَّ قَالَ لَا بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدِ اضْطُرِرْتُمْ فَكُلُوا قَالَ فَأَقَمْنَا عَلَيْهِ شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِائَةٍ حَتَّى سَمِنَّا قَالَ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا نَغْتَرِفُ مِنْ وَقْبِ عَيْنِهِ بِالْقِلَالِ الدُّهْنَ وَنَقْتَطِعُ مِنْهُ الْفِدَرَ كَالثَّوْرِ أَوْ كَقَدْرِ الثَّوْرِ فَلَقَدْ أَخَذَ مِنَّا أَبُو عُبَيْدَةَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَأَقْعَدَهُمْ فِي وَقْبِ عَيْنِهِ وَأَخَذَ ضِلَعًا مِنْ أَضْلَاعِهِ فَأَقَامَهَا ثُمَّ رَحَلَ أَعْظَمَ بَعِيرٍ مَعَنَا فَمَرَّ مِنْ تَحْتِهَا وَتَزَوَّدْنَا مِنْ لَحْمِهِ وَشَائِقَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ فَهَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا قَالَ فَأَرْسَلْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ فَأَكَلَهُ *

Rasulullah SAW  memberi  bekal kurma sekantong kulit  , tiada makanan lainnya . Abu Ubaidah memberikan satu kurma – satu kurma .

Perawi berkata : “ Bagaimana kamu bisa berbuat dengannya  ?

Jabir berkata : Kita  menyesapnya  seperti   bayi menyesap , lalu kita minum air  . Kita sudah cukup dengannya sampai malam. Kita  memukul  dedaunan yang jatuh dengan tongkat kita ,lalu kita basahi dengan air lalu kita makan.

Kita pergi ke pantai  , lalu dipantai ada  ikan anbar  laksana undukan pasir besar.

Abu Ubaidah berkata  : “Ikan itu sudah membangkai ,  Tapi kita   menjadi utusan Rasulullah SAW  dalam keadaan  darurat di dalam sabilillah ,kita makan saja.

Kita bertempat disitu satu bulan ,kita berjumlah tiga ratus orang hingga  kita gemuk. Kita  menciduk minyak dari lobang matanya  dengan bejana ( tempayan ) , Kita potong daging nya ,kita rebus lalu kita dinginkan sebesar sapi .

Abu Ubaidah mengambil tiga belas  lelaki diantara kita ,lalu didudukkan di lobang matanya ,lalu mengambil tulang rusuknya ,  didirikan , lalu  unta  paling besar lewat dibawahnya . Kita  bikin dendeng daging  untuk bekal kita .Ketika sampai di medinah , kita datang kepada Rasulullah SAW ,lalu kita sebutkan hal itu kepadanya .

Beliau bersabda :  Ia adalah rizqi yang di keluarkan oleh Allah untukmu . Apakah kamu punya dagingnya , dan  kami makan padanya .lalu kita berikan kepada Rasulullah SAW  dan beliau memakannya . [2]
Imam Muhibbud din Thobari , lahir 224 , wafat 310 berkata :
والثعبان والعقرب والسرطان والسلحفاة للاستخباث والضرر اللاحق من السم

Ular ,kalajengking , kepiting  kura kura adalah haram  karena  buruk dan racunnya  yang membahayakan .[3]

Bila  kepiting  termasuk buruk , maka layak di haramkan karena ada ayat :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk[4]
Pendapat diatas berlainan dengan pendapat imam Ahmad sebagai berikut :
قال أحمد   السرطان  لا بأس به قيل له يذبح قال لا وذلك لأن مقصود الذبح إنما هو إخراج الدم منه وتطييب اللحم بإزالته عنه فما لا دم فيه لا حاجة إلى ذبحه

Imam Ahmad , wafat tahun 241 H. berkata :” Kepiting boleh  ,lalu di katakan kepadanya : “ Apakah di sembelih ? “.
Beliau menjawab  :”Tidak , karena maksud pemotongan adalah mengeluarkan darah dan melezatkan daging . Selama kepiting  tidak memiliki darah , tidak perlu dipotong [5]

Namun yang perlu kita perhatikan bahwa Pernyataan tersebut diatas merupakan pendapat pribadi Imam Ahmad dan beliau tidak mengetengahkan dalil dan Ia bertentangan  dengan pendapat ulama  syafiiyah.
Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani  , wafat 852 berkata :

   حديث أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع   السرطان  لم أجده   

Hadis tentang larangan jual beli kepiting ,aku tidak menjumpainya “.[6]
Abdullah bin Yusuf Abu Muhammad Al hanafi Azzaila`i  , wafat 762 berkata :
الحديث الثالث والعشرون روي أنه عليه السلام نهى عن بيع   السرطان  قلت غريب جدا

Hadis ke 23 , diriwayatkan bahwa Nabi SAW  melarang jual beli kepiting  . Aku berkata  : “sangat nyeleneh “. [7]
   Dari pendapat - pendapat diatas bisa disimpulkan bahwa masalah kepiting adalah hilafiyah , oleh sebab itu, jalan keluarnya ialah kita perlu kembali kepada Allah sebagaimana  ayat :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[8]
Keterangan  penghalalan kepiting secara tegas dalam al Quran tidak ada , tapi ada ayat yang mengharamkan khobits (buruk) dan kepiting menurut Imam Muhibbud din Thobari termasuk khobits tersebut, sehingga jelas hukumnya adalah haram. 
Sementara dalam hadis juga  tidak ada yang memperkenankan memakan kepiting secara tegas dan lugas. Secara kenyataan para Rasulullah  mulai Nabi Adam sampai  Nabi  Muhammad , dan para sahabatnya  tidak kami jumpai keterangan hadis bahwa mereka  pada suatu saat pernah makan kepiting . Padahal kita diperintahkan untuk makan sebagaimana makanan para Rasulullah.  Dalam  suatu hadis dijelaskan :
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ) وَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )

Wahai  manusia !  Sesungguhnya  Allah baik  tidak akan menerima kecuali  yang baik . Dan sesungguhnya Allah memerintah  kaum mukminin  sebagaimana  para Rasul , lalu  berfirman : Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Al mukminun 51 )
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. ( Al Baqarah  172 )[9]
Berdasarkan dalil-dalil diatas, maka Saya lebih  condong untuk mengharamkan kepiting. 
Seumpamapun derajatnya tidak sampai pada haram, maka masalah kepiting termasuk dalam wilayah Subhat (tidak jelas dan diperselisihkan halal haramnya) , maka layak sekali untuk di hindari. Sebagaimana firman Allah SWT :
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

Perkara halal adalah jelas dan haram juga jelas .  Dan diantara  halal dan haram itu terdapat perkara subhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya . Barang siapa berhati – hati dari perkara subhat , sungguh telah membersihkan diri untuk agama dan  kehormatannya. Barang siapa yang  jatuh ke dalam subhat , akan jatuh juga kedalam keharaman laksana pengembala yang mengembala di sekitar tanah larangan akan mengembala di dalamnya . Ingat ! Setiap raja mempunyai tanah larangan . Ingat ! Sesungguhnya tanah larangan Allah adalah keharamanNya .[10]
    Paling fatal lagi biasanya kepiting di masak dengan tahinya , pada hal tahi itu kotor banget dan najis .  Untuk apakah kita makan kepiting bila masih ada ikan .
                                                                      
wallahu a'lam bish showab
-------------


[1]  Mu`jamul buldan 381/2 .
[2] HR Muslim dalam kitab sahihnya   1935
[3] Fathul bari 619/9.
[4] Al A`raf 157
[5] Al Mughni 337/9
[6] Addiroyah fii takhriji ahadisil hidayah 212/1
[7] Nasbur royah 201/4
[8] Annisa`  59
[9] HR  Muslim / Zakat / 1015. Tirmidzi / Tafsir / 2989. Ahmad / Baqi musnad muktsirin/8149. Darimi / Raqaq / 2718
[10] Hr Bukhori / Iman / 52. Muslim / Musaqat / 1599. Tirmizi / Buyu`/ 1205. Nasai/ Asyribah /4453. –5710. Abu dawud / Buyukl/ 3329. Ibnu Majah / Fitan / 3984. Ahmad / Musnad kufiyyin / 17883
 

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I08.53