Kamis, 03 Mei 2012

Hukum Donor Darah Dan Donor Anggota Tubuh

Filled under:

Hukum Donor Darah Dan Donor Anggota Tubuh

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya mau bertanya: bagaimana hukum donor darah atau organ tubuh? Apakah mempengaruhi nasabnya (misalnya apakah kedua orang tersebut menjadi muhrim)?
(Firnandes)

Jawab:
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Pertama: Hukum donor darah diperbolehkan dengan 3 syarat:
a. Dalam keadaan darurat
Allah ta’ala berfirman:
173إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ) .البقرة:)
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Berkata Syeikh Bin Baz:
لا بأس في ذلك ولا حرج فيه عند الضرورة
“Tidak mengapa (donor darah) ketika darurat.” (Majmu Fatawa Syeikh Bin Baz 20/71)
b. Tidak memudharati pendonor darah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh memudharati diri sendiri dan memudharati orang lain.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Berkata Syeikh Al-Utsaimin:
فالتبرع بالدم إذا كان لا يضر الإنسان ما به بأس؛ لأن الدم يعوض سريعاً بخلاف التبرع بالأعضاء، فالأعضاء لو تبرعت بها ما عوضت مرة ثانية
“Donor darah kalau tidak membawa mudharat maka tidak mengapa, karena darah itu cepat diganti, beda dengan anggota badan karena dia tidak ada gantinya.” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb)
c. Keterangan dokter yang terpercaya. 

Kedua: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah transplantasi (donor organ tubuh).
Dan yang dikuatkan oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan Syeikh Muhammad Al-Utsaimin adalah tidak boleh karena beberapa hal:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كسر عظم الميت ككسره حيا
“Memecah tulang orang yang meninggal seperti memecah tulangnya ketika masih hidup.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)
Sementara mengambil jantung dan ginjal misalnya lebih besar perkaranya dari hanya sekedar memecah tulang.
2. Ini adalah jenis perendahan terhadap anggota tubuh manusia.
3. Allah ta’ala mencipta sepasang organ tubuh dengan hikmah dan faidah, yaitu supaya bekerjasama dalam sebuah pekerjaan. Kalau hilang satu maka tentunya disana ada pengaruh ke badan.
4. Pemindahan organ ini kepada orang lain belum tentu berhasil, sementara pendonor jelas merasakan mafsadahnya.
5. Organ tubuh adalah amanat dari Allah.
6. Jika pendonor hanya memiliki satu organ tubuh kemudian organ tubuh yang satu itu rusak maka dia termudharati.
(Lihat Majmu Fatawa Syeikh Bin Baz 13/364, Fatawa Nur ‘Ala Ad-darb Syeikh Muhammad Al-Utsaimin)

Ketiga: Donor darah tidak mempengaruhi kemahraman, tidak seperti menyusui. 
Karena susu meskipun berasal dari darah akan tetapi sudah berubah sehingga memiliki hukum tersendiri, kemudian dalil hanya menunjukkan bahwa yang menyebarkan kemahraman adalah menyusui dengan syarat minimal 5 kali menyusu dan umur bayi kurang dari 2 tahun. 
(Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 21/145-148)

Wallahu a’lam.
Ustadz Abdullah Roy, Lc.
Sumber: tanyajawabagamaislam.blogspot.com

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I12.01

Hukum Pernikahan Manusia Dengan Jin

Filled under:

 Hukum Pernikahan Manusia Dengan Jin

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang kemungkiinan terjadinya pernikahan antara manusia dan jin. Pendapat yang tepat adalah bahwa hal itu dimungkinkan berdasarkan firman Allah swt :
وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ
Artinya : “Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (QS. Al Isra : 64)
Adapun tentang hukum pernikahan antara manusia dan jin maka tidaklah dibolehkan, sebagaimana hal itu diterangkan Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Asybah an Nazhair”.
Di dalam permasalahan-permasalahan tentangnya telah ditanyakan asy Syeikh Jamaluddin al Isnawi kepada hakim dari para hakim Syarofuddin al Bariziy apabila seseorang ingin menikah dengan wanita dari kalangan jin —ketika dimungkinkan— maka apakah hal demikian diperbolehkan atau dilarang. Sesungguhnya Allah SWT berfirman :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.” (QS.Ar Ruum : 21)—Sang Maha Pencipta telah memberikan karunia dengan menjadikan hal itu dari satu jenis yang bisa dipergauli.
Dan jika kita membolehkan hal demikian —ini disebutkan di dalam kitab “Syarh al Wajiz’ milik Ibnu Yunus— maka apakah diharuskan bagi jin wanita itu untuk tetap tinggal di rumah atau tidak? Apakah dia dilarang untuk berbentuk selain bentuk manusia ketika dirinya menyanggupi karena kadang dirinya senang dan kadang tidak dengan hal itu? Apakah dirinya juga tergantung dengan syarat-syarat sah pernikahan seperti walinya atau apakah dirinya harus bersih dari berbagai penghalang (pernikahan) atau tidak? Apakah jika si lelaki melihatnya dalam bentuk selain bentuk biasanya dan si wanita jin itu mengaku bahwa ini adalah dirinya, maka apakah pengakuannya itu bisa dijadikan sandaran, lalu dibolehhkan baginya menggaulinya atau tidak? Apakah si lelaki juga dibebankan untuk memberikan apa-apa yang menjadi kebiasaan mereka (kaum jin), seperti : tulang dan selainnya jika dirinya mampu ataukah ia tidak dibebankan?
Lalu beliau menjawab : “Tidak diperbolehkan menikah dengan wanita dari kalangan jin berdasarkan pemahaman dari dua ayat yang mulia didalam surat an Nahl :
وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri" (QS. An Nahl : 72)
Dan didalam surat ar Ruum :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.” (QS. Ar-Ruum : 21)
Terhadap kedua ayat tersebut, para mufasir mengatakan bahwa makna dari “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri" adalah dari jenis, macam atau seperti fisik kalian, sebagaimana firman Allah SWT :
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ
Artinya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari jenismu sendiiri.” (QS. At Taubah : 128) —yaitu dari kalangan manusia, karena wanita-wanita yang dihalalkan untuk dinikahi adalah anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak dan anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan ibu. Termasuk dalam hal ini adalah wanita-wanita jauh sebagaimana yang difahami dari ayat di surat al Ahzab :
Artinya : “Dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” (QS. Al Ahzab : 50) dan wanita-wanita selain mereka yang haram (dinikahi)… sebagaimana disebutkan didalam surat an Nisa tentang wanita-wanita yang haram (dinikahi), maka itu semua adalah tentang nasab sementara itu tidaklah ada nasab antara anak-anak Adam dan jin.
Dan inilah jawaban al Barizi. Jika engkau bertanya,”Bagaimana menurutmu tentang hal itu?” Aku mengatakan,”Bahwa yang aku yakini adalah diharamkan berdasarkan beberapa alasan berikut, diantaranya :
  1. Berdasarkan kedua ayat terdahulu.
  2. Apa yang diriwayatkan Harb al Karmani didalam “Masaa’il” nya dari Ahmad dan Ishaq, keduanya mengatakan : Muhammad bin Yahya al Qathi’i telah bercerita kepada kami : Basyar bin Umar telah bercerita kepada kami : Ibnu Luhai’ah telah bercerita kepada kami dari Yunus bin Yazid dari az Zuhriy berkata,”Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi jin.”. walaupun hadits ini mursal namun dikuatkan oleh berbagai perkataan para ulama. Terdapat riwayat dari al Hasan al Bashri, Qatadah, al Hakam bin ‘Uyainah Ishaq bin Rohuyah dan ‘Uqbah al ‘Asham tentang pelarangan itu. Al Jammal as Sijistani dari kalangan Hanafi didalam kitab “Munyah al Mufti ‘an al Fatwa as Sirajiyah” mengatakan bahwa tidak diperbolehkan pernikahan antara manusia dan jin, dan manusia air karena perbedaan jenis.
  3. Bahwa pernikahan disyariatkan untuk ketenangan, ketentraman, kecintaan dan kasih sayang dan hal ini tidak terdapat pada jin bahkan yang ada pada mereka adalah sebaliknya yaitu permusuhan yang tidak hilang.
  4. Tidak terdapat perizinan dari syariat tentang hal itu. Sesungguhnya Allah swt telah berfirman :
    فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء
    Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (an nisa) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa : 3) An Nisaa adalah nama khusus untuk wanita-wanita dari kalangan Bani Adam sehingga selain mereka adalah haram. Karena asal dari persetubuhan adalah haram hingga terdapat dalil yang menghalalkannya.
  5. Dan seorang yang merdeka dilarang menikahi budak wanita jika akan menghasilkan kemudharatan pada anak karena perbudakan… Maka apabila pernikahan dengan budak wanita adalah dilarang padahal dari jenis yang sama meskipun dari macam yang berbeda maka pernikahan dengan yang tidak sejenis tentunya lebih utama lagi. (al Asbah an Nazha’ir hal 457–459)
Wallahu A’lam.

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.38

Indigo berdasarkan pandangan islam

Filled under:

Indigo berdasarkan pandangan islam

Bagaimana pandangan islam mengenai hal indigo?
 
Berikut ini ulasannya :
 
Indigo berdasarkan kemampuannya biasanya memiliki kemampuan untuk menembus dimensi lain (masa depan) atau melihat makhluk-makhluk halus di sekitarnya bahkan berinteraksi dengan mereka yang biasa disebut kemampuan interdimensional.

Terima kasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat : http://kerispapan.blogspot.com/2012/02/indigo-menurut-pandangan-islam.html
 Indigo berdasarkan kemampuannya biasanya memiliki kemampuan untuk menembus dimensi lain (masa depan) atau melihat makhluk-makhluk halus di sekitarnya bahkan berinteraksi dengan mereka yang biasa disebut kemampuan interdimensional.
Indigo berdasarkan kemampuannya biasanya memiliki kemampuan untuk menembus dimensi lain (masa depan) atau melihat makhluk-makhluk halus di sekitarnya bahkan berinteraksi dengan mereka yang biasa disebut kemampuan interdimensional.

Terima kasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat : http://kerispapan.blogspot.com/2012/02/indigo-menurut-pandangan-islam.html
Indigo berdasarkan kemampuannya biasanya memiliki kemampuan untuk menembus dimensi lain (masa depan) atau melihat makhluk-makhluk halus di sekitarnya bahkan berinteraksi dengan mereka yang biasa disebut kemampuan interdimensional.

Terima kasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat : http://kerispapan.blogspot.com/2012/02/indigo-menurut-pandangan-islam.html
 
 
Hukum Melihat Makhluk Halus.
Indigo berdasarkan kemampuannya biasanya memiliki kemampuan untuk menembus dimensi lain (masa depan) atau melihat makhluk-makhluk halus di sekitarnya bahkan berinteraksi dengan mereka yang biasa disebut kemampuan interdimensional. Dalam keyakinan islam, yang memiliki kelebihan melihat jin dan masa depan hanyalah wali Allah saja, yaitu orang-orang yang senantiasa dekat dan dicintai oleh Allah SWT. Apakah ini berarti setiap indigo adalah orang-orang yang senantiasa dekat dan dicintai oleh Allah ? Padahal telah dijelaskan dalam hukum melihat makhluk halus yaitu siapa saja yang dapat melihat makhluk halus hanyalah Rasul, Nabi, dan para Waliullah.

Terima kasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat : http://kerispapan.blogspot.com/2012/02/indigo-menurut-pandangan-islam.html

Manusia tidak dapat melihat jin dalam bentuk yang asli karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga; ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan–kepada keduanya–‘auratnya. Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-A’raf:27)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat ini, “Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,” menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melihat jin, yaitu pada bentuk mereka yang asli.
Ketika menjelaskan hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menangkap setan, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Setan terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan (bagi manusia) untuk melihatnya. Firman Allah ta’ala, ‘Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,’ dikhususkan pada kondisi bentuknya (yang asli) yang Allah telah ciptakan.” (Fathul Bari, penjelasan hadis no. 2311)
Dari sini, kita mengetahui bahwa setan terkadang menjelma dalam bentuk manusia, hewan, atau lainnya. Demikian juga, setan itu sangat pendusta. Jangan sampai manusia tertipu olehnya

Sebab Mengapa Orang Mengaku Bisa Melihat Jin
menurut Ustadz Ahmad Abu Musa :
Ada 3 kemungkinan dari penglihatannya jin yang terjadi pada manusia, yaitu :
1. Ada jin (baik satu maupun lebih ) yang bersemayam dalam dirinya, sehingga orang yang disemayami mampu melihat "teman" dari jin yang bersemayam tersebut. Tentu saja, orang tersebut bisa melihat jin dan orang lain tidak bisa melihat karena orang lain tidak disemayami jin.
2. Jin menyamar menjadi bentuk lain seperti hewan atau benda, hal ini menyebabkan semua manusia mampu melihat jin tersebut. Dan perlu diingat, Allah SWT telah menciptakan alam nyata untuk manusia dan alam ghoib untuk bangsa jin. Maka jika jin memperlihatkan diri di alam manusia, akan memerlukan energi yang besar dan belum termasuk hukuman dari Allah SWT karena telah melanggar hukum yang telah diciptakan Allah SWT.
3. Kemungkinan yang terakhir adalah orang yang melihat jin tersebut melakukan dusta atas penglihatan jinnya.

Kenapa orang bisa indigo?


Ustadz Abu Musa menjawab, kemungkinan ada salah satu dari leluhur anak indigo yang melakukan persekutuan dengan jin. Ini menyebabkan ada jin yang bersemayam dalam diri keturunannya.

Lalu, apa ya orang indigo bisa memprediksi masa depan?
Itu sebenarnya kerjaan dari jin yang bersemayam dalam dirinya.[tentu jin musyrik] yang banyak bertapa sehingga memiliki kekuatan yang besar dan mampu meramalkan masa depan[dan bisa jadi itu semua skenario jin tersebut]

Apa anak indigo mampu melihat ruh orang yang sudah meninggal?
Sebagai seorang muslim, kita wajib tidak percaya pada hal tersebut, kenapa? karena alam sesudah kematian di Dunia adalah alam barzah. di alam barzahlah kita akan ditanya oleh 2 malaikat [Munkar dan Nakir] dan setelah ditanya, apakah amalan kita baik atau buruk, maka jika buruk kita akan mendapatkan siksa kubur dan jika baik Allah akan membukakan pintu surga sehingga bu surga yang wangi akan senantiasa semerbak di kubur kita. Adapun masalah melihat orang meningga, itu sebenarnya bukanlah orang yang sudah meninggal , itu adalah kerjaan dari jin musyrik yang menyerupai orang yang sudah meinggal.

Apa anak indigo bisa dihilangkan kemampuannya itu?
Bisa, yaitu dengan metoda ruqyah, yaitu membacakan ayat Allah SWT disampin orang yang memiliki indigo. Namun, perlu kita tahu, jika seorang itu merupakan indigo kuat[jin yang didalamnya kuat] maka akan lebih lagi tingkatan dalam ruqyahnya, namun tetap saja bisa dihilangkan selama ia mau untuk menghilangkannya.

Wallahu alam Bishowab

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.32

Bermudah-mudah Mengucapkan Kata Cerai

Filled under:

Bermudah-mudah Mengucapkan Kata Cerai


Banyak dijumpai suami yang bermudah-mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya walau hanya karena perkara yang remeh. Bagaimana hukum syariat terhadap permasalahan seperti ini?
 
Jawab:
Samahatus Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz t memberikan jawabannya, “Yang disyariatkan bagi seorang muslim adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain1. Karena Nabi n bersabda:
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”2
Juga karena banyak mengucapkan talak akan berdampak buruk.
Talak dibolehkan ketika ada kebutuhan. Bahkan terkadang mustahab bila ada maslahat atau akan timbul kemudaratan yang besar bila istri tetap dipertahankan.
Yang diajarkan oleh As-Sunnah adalah bila terpaksa talak maka yang dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya rujuk bila memang diinginkan selama si istri masih dalam masa ‘iddah atau dengan akad nikah yang baru bila masa ‘iddah telah berakhir.
Talak dijatuhkan seorang suami dalam keadaan istrinya hamil atau dalam keadaan suci yang dalam masa suci tersebut ia belum menggaulinya. Adapun bila si istri sedang haid, tidak boleh dijatuhkan talak. Karena Nabi n pernah memerintahkan Ibnu Umar c untuk kembali kepada istrinya yang ditalaknya dalam keadaan haid3. Ketika itu Ibnu Umar c diperintahkan menahan si istri sampai suci dari haidnya tersebut. Kemudian datang haid berikutnya sampai suci lagi, setelah itu ia boleh mentalaknya bila mau, namun dengan ketentuan ia sama sekali belum menggaulinya di masa suci tersebut. Nabi n mengatakan kepada Ibnu Umar c, “Itulah iddah yang Allah l perintah untuk menceraikan istri dalam masa tersebut.”
Dalam lafadz lain yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t disebutkan bahwa Nabi n berkata kepada Umar z:
مُرْهُ –يَعْنِي ابْنَهُ عَبْدَ اللهِ- فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلاً
“Perintahkan dia -yaitu putra Umar, Abdullah- agar merujuk istrinya, kemudian setelah itu ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci atau dalam keadaan hamil.”
Tidak boleh seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas, atau di masa sucinya di mana ia telah menggaulinya. Adapun terhadap istri yang sedang hamil atau telah berhenti haid (menopause), tidak terlarang menjatuhkan talak atasnya berdasarkan hadits Ibnu Umar c yang telah disebutkan. Ini merupakan tafsir terhadap firman Allah l:
“Wahai Nabi, apabila kalian mentalak para istri kalian maka talaklah mereka di masa mereka dapat menghadapi iddah mereka.” (Ath-Thalaq: 1)
Tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan satu kalimat4 atau dalam satu kesempatan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i dengan sanad yang hasan, dari Mahmud ibnu Labid, bahwasanya sampai kepada Nabi n berita adanya seseorang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. Maka beliau bangkit dalam keadaan marah kemudian bersabda:
أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟
“Apakah Kitabullah dipermainkan sementara aku masih berada di antara kalian (masih hidup)?”5
Juga berdasarkan hadits di dalam Shahihain (dua kitab shahih) dari Ibnu ‘Umar c, ia berkata kepada orang yang langsung menjatuhkan talak tiga kepada istrinya:
لَقَدْ عَصَيْتَ رَبَّكَ فِيْمَا أَمَرَكَ بِهِ مِنْ طَلاَقِ امْرَأَتِكَ
“Sungguh engkau telah bermaksiat kepada Rabbmu dalam perkara yang diperintahkan-Nya kepadamu dalam urusan mentalak istrimu.”
Allah l-lah yang memberi taufik. (Al-Fatawa, Kitabud Da’wah, 92/234,244)
Di daerah kami ada orang-orang yang dalam percakapan mereka, berulang-ulang bersumpah dengan talak. Misalnya, “Sungguh telah jatuh talak kepada istriku”, “(Demi talak) kalau engkau melakukan ini atau bila engkau keluar ke tempat itu.” Padahal mereka semua yang mengatakan seperti ini punya istri. Apakah benar jatuh talak dalam keadaan seperti ini atau tidak?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t berfatwa, “Pertanyaan ini berisi dua masalah. Yang pertama: Keadaan orang-orang bodoh yang lisan mereka terbiasa mengucapkan kalimat talak dalam segala keadaan, yang remeh ataupun yang berat. Mereka ini telah menyelisihi bimbingan Nabi n dalam sabda beliau:
مَنْ كَانَ حاَلِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang bersumpah maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam (jangan bersumpah).”6
Bila seorang mukmin ingin bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah k. Namun tidak sepantasnya ia banyak bersumpah walaupun dengan menyebut nama Allah l, karena Allah l berfirman:
“Jagalah sumpah-sumpah kalian.” (Al-Ma’idah: 89)
Di antara penafsiran ayat ini adalah janganlah kalian banyak bersumpah (walau) dengan menyebut nama Allah k.
Adapun bila mereka bersumpah dengan menyebut talak, misalnya “Wajib bagiku talak (demi talak) kalau engkau melakukan itu” atau “Wajib bagiku talak bila engkau tidak melakukan ini dan itu.” Atau ia mengatakan, “Bila engkau melakukan itu maka jatuh talak kepada istriku”, “Bila engkau tidak melakukannya berarti jatuh talak pada istriku”, dan kalimat semisalnya, maka sumpah seperti ini menyelisihi bimbingan Nabi n.
Banyak ahli ilmu –bahkan mayoritasnya– mengatakan bila seseorang bersumpah demikian maka jatuh talak kepada istrinya, walaupun pendapat yang rajih adalah bila talak digunakan dalam sumpah dengan tujuan menghasung untuk melakukan sesuatu, melarang dari sesuatu, membenarkan atau mendustakan atau menekankan suatu perkara maka hukumnya sama dengan hukum sumpah, berdasarkan firman Allah l:
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, karena ingin mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian semuanya untuk membebaskan diri dari sumpah kalian, dan Allah adalah Pelindung kalian dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki hikmah.” (At-Tahrim: 1-2)
Dalam ayat di atas, Allah l menjadikan tahrim (pengharaman yang dilakukan Nabi n) sebagai sumpah.
Juga berdasar sabda Nabi n:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amalan itu tergantung dengan niatnya. Dan masing-masing orang memperoleh apa yang ia niatkan.”7
Orang yang bersumpah dengan menyebut talak tidaklah berniat mentalak istrinya. Ia hanyalah meniatkan sumpah atau meniatkan makna sumpah. Maka bila ia melanggar sumpahnya, wajib baginya membayar kaffarah sumpah8. Inilah pendapat yang rajih.
Masalah yang kedua: bersumpah untuk mengharuskan orang lain (agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu) baik dengan menyebut talak, dengan menyebut nama Allah k atau dengan menyebut salah satu sifat Allah l, merupakan tindakan yang memberatkan orang lain, bahkan terkadang memudaratkan orang lain. Dengan begitu, tanpa ragu dikatakan bahwa sumpah demikian bisa memberatkan mahluf ‘alaihi (orang yang dinyatakan sumpah di hadapannya atau disebut dalam sumpah). Misalnya orang yang bersumpah mengatakan kepadanya, “Wajib bagiku talak (demi talak) kalau engkau tidak melakukan hal itu”.). Bisa pula memberatkan orang yang bersumpah (halif).
Mahluf ‘alaihi terkadang melakukan apa yang disebutkan dalam sumpah dengan menanggung kesulitan/kepayahan sehingga jelas hal ini memberatkannya. Bisa jadi ia tidak melakukan apa yang disebutkan dalam sumpah tersebut karena adanya kesulitan. Akibatnya halif harus membayar kaffarah sumpah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“…maka kaffarah melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa engkau berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Siapa yang tidak mendapatkannya (tidak mampu melakukannya) maka kaffarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah sumpah kalian bila kalian bersumpah (lalu melanggarnya)…” (Al-Ma’idah: 89)
Allah l menyebutkan kaffarah sumpah itu ada empat perkara. Tiga perkara darinya boleh dipilih mana yang mau dilakukan (takhyir), apakah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Kaffarah yang satunya sebagai tartib (urutan berikutnya), bila seseorang tidak dapat melakukan tiga perkara yang telah disebutkan maka ia berpuasa tiga hari berturut-turut. Dalam firman Allah l:
“Siapa yang tidak mendapatkannya (tidak mampu melakukannya)…”
dihilangkan penyebutan obyeknya agar mencakup orang yang tidak mendapatkan makanan untuk diberikan kepada fakir miskin, atau tidak mendapatkan pakaian, atau tidak mendapatkan dana untuk memerdekakan budak, dan mencakup pula orang yang tidak mendapatkan fakir miskin untuk diberikan makanan atau pakaian, atau tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan.
Berdasarkan hal ini, bila engkau berada di suatu negeri yang di situ tidak ada orang-orang fakir maka boleh bagimu berpuasa tiga hari sebagai kaffarah sumpahmu, karena pantas dikatakan engkau sebagai orang yang tidak mendapatkan. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, hal. 85)

1 Misalnya dengan mengatakan kepada orang-orang, “Bila saya berbuat ini maka berarti jatuh cerai pada istri saya.” “Kalau kamu begitu berarti jatuh talak pada istri saya”, atau kalimat semisalnya.
2 HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan lain-lain. Namun hadits yang disebutkan Asy-Syaikh t adalah hadits yang dhaif/lemah, sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Albani t dalam Al-Irwa’ no. 2040.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
4 Seperti seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Jatuh talak atasmu, jatuh talak atasmu, jatuh talak atasmu.” Atau ia mengatakan, “Aku mentalakmu dengan talak tiga.”
5 Hadits ini dilemahkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Dha’if Ibni Majah no. 3401 dan Al-Misykat no. 3292.
6 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
7 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
8 Dan tidak jatuh talak pada istrinya.

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.11

Masturbasi Membatalkan Puasa

Filled under:

Masturbasi Membatalkan Puasa

oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari



Perlu diketahui bahwa masturbasi hingga ejakulasi (istimna’) dengan bantuan tangan sendiri atau dengan bantuan alat hukumnya haram atas laki-laki dan wanita, baik sedang berpuasa atau tidak. Demikian pula halnya istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki, atau pun bercumbu dengannya, berpelukan dan semisalnya dengan maksud mencapai ejakulasi untuk memuaskan syahwat saat sedang berpuasa hukumnya haram, karena hal ini termasuk mengumbar nafsu syahwat yang terlarang saat berpuasa. Begitu pula hukumnya atas wanita yang melakukannya dengan suaminya atau budak wanita dengan tuannya saat dia sedang berpuasa.
Guru kami yang mulia, Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata dalam Ijabatus Sa’il (hal. 174): “Jika seorang lelaki bermesraan dengan istrinya (bercumbu dan berpelukan) untuk memuaskan syahwatnya dengan ejakulasi di luar farji istri, maka dia berdosa dengan itu. Sebab Rasulullah n telah bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Orang yang berpuasa meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Jika dia melakukan hal itu dalam keadaan jahil (tidak tahu hukum), maka ketika dia mengetahui hukumnya hendaklah bertaubat kepada Allah l. Jika dia bermesraan dengan istrinya dalam keadaan mengerti hukum bahwa boleh baginya bermesraan dengan istrinya[1] selain jima’ (bersetubuh), lalu dia mencapai ejakulasi, sementara dirinya tidak bermaksud untuk itu, maka dia tidak berdosa.”
Hal ini membatalkan puasa, seperti halnya ejakulasi yang dicapai dengan jima’ (bersetubuh) yang merupakan pembatal puasa, berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini dikuatkan dengan hadits qudsi di atas bahwa orang yang berpuasa menahan diri dari makanan, minuman dan syahwat yang merupakan pembatal-pembatal puasa. Sementara ejakulasi merupakan syahwat, dengan dalil sabda Rasulullah n:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Pada kemaluan setiap kalian ada shadaqah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya dan dia mendapat pahala dengannya?” Rasulullah bersabda: “Tahukah kalian, kalau dia meletakannya dalam perkara yang haram, apakah dia berdosa karenanya? Demikian pula halnya jika dia meletakkanya dalam perkara yang halal, maka dia mendapat pahala karenanya.”(HR. Muslim dari Abu Dzar z)
Tentu saja ejakulasi saat orgasme (puncak kenikmatan syahwat) adalah syahwat yang terlarang saat berpuasa dan membatalkan puasa, dengan cara apapun seseorang mencapainya. Meskipun memang benar bahwa jima’ (bersetubuh) itu sendiri membatalkan puasa, walaupun tanpa ejakulasi.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa(25/224), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/386-388) dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259-260).
Inilah yang nampak bagi kami dalam permasalahan ini. Sangat sulit dibenarkan bahwa halal-halal saja bagi orang yang berpuasa untuk melampiaskan syahwatnya dengan ejakulasi selain jima’ (bersetubuh), padahal hal itu jelas-jelas merupakan pemuasan syahwat yang semakna dengan ejakulasi yang dicapai dengan jima’.
Kesimpulannya, jika hal itu sengaja dilakukan dalam keadaan mengerti hukum, maka pelakunya berdosa dan puasanya batal. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah l dan tidak disyariatkan baginya untuk mengqadha (mengganti) puasa yang batal itu di luar bulan Ramadhan, menurut pendapat yang rajih (kuat). Karena yang rajih tidak disyariatkan bagi yang meninggalkan puasa atau membatalkan puasanya secara sengaja untuk mengqadha dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/225-226), dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil dalam Ijabatus Sa’il(hal. 175).
Adapun masalah kaffarah, maka ejakulasi dengan selain jima’ (bersetubuh) tidak ada kaffarahnya, menurut pendapat yang rajih. Seluruh ulama yang kami sebutkan di atas sepakat dalam hal ini. Sebab dalil kaffarah hanya datang pada masalah jima’ atas orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan jima’. Dan hal ini tidak bisa disamakan dengan ejakulasi tanpa jima’, karena jima’ urusannya lebih keras.
Keterangan ini untuk puasa wajib. Adapun puasa sunnah, maka boleh bagi seseorang untuk membatalkannya kapan saja dia mau dengan melakukan pembatal-pembatal puasa yang ada tanpa konsekuensi dosa. Namun ulama mengatakan bahwa tidak sepantasnya membatalkannya tanpa tujuan yang mengandung maslahat. Wal ‘ilmu ‘indallah.

[1] Maksudnya tanpa disertai niatan untuk memuaskan syahwat dengan ejakulasi di luar farji istri. –pen

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I11.02

Ketentuan Prosentase Keuntungan Dalam Berdagang

Filled under:

Ketentuan Prosentase Keuntungan Dalam Berdagang
 
DUA PRINSIP DASAR PERNIAGAAN:
Sebelum membahas tentang prosentase keuntungan dalam islam, ada baiknya kita mengetahui dua prinsip dasar perniagaan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan jawaban pertanyaan diatas.

Prinsip Pertama: Asas Suka Sama Suka
Islam yang kita cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa kerelaannya –walau sekedar bercanda-.
لَايَأخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاوَلَاجَادًّاوَإِذَاأَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَاعَلَيْهِ.
Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. (HR. Ahmad, 4/221)

Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’/4:29)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّابِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ.
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwanya. (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 839)

Dan pada hadits lain beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih tegas lagi bersabda:
إِنَّمَاالْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka. (HR. Ibnu Majah dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah, no. 2185 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)

Dalam riwayat lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّاعَنْ تَرَاضٍ.
Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka sama suka. (HR. Ibnu MaAhmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Musnad Imam Ahmad, 2/536 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)

Betapa kacau kehidupan manusia bila mereka mereka bebas membeli harta sesama, tanpa memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis, permusuhan bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.
Berdasarkan ini, para Ulama` menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa tanpa alasan yang dibenarkan.

Prinsip Kedua: Tidak Merugikan Orang Lain:
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat/49:10).

Dalam riwayat Muslim no 2586 Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang dan bahu membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam.

Imam Nawawi mengatakan,, “Hadits ini dengan tegas dan jelas menunjukkan betapa agung hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga merupakan anjuran kepada mereka agar saling menyayangi, berlemah lembut dan membantu dalam hal-hal yang tidak termasuk perbuatan dosa atau hal-hal yang dibenci.” (Syarah Muslim, oleh Imam An-Nawawi 16/139).

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no. 2558)

Dengan dasar dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama` ahli fikih mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum baik kerugian dalam urusan agama atau urusan dunia.

Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha?
Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut:

Dalil Pertama:
عَنْ عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.
Dari Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)

Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya merestui, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semakin lihai berniaga.

Dalil Kedua:
Berbagai dalil yang telah dikemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan dalil dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah memiliki barang daganganny, maka tidak ada alasan untuk memaksanya agar menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.

Dalil Ketiga:
Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual!” Menanggapi permintaan ini, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “sesungguhnya Allah-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allah dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.” (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih, no. 2894).

Saudaraku! Coba anda cermati alasan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia inginkan.


Catatan Penting:
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga diatas. Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain:

1.        Menimbun Barang
Sebagian pedagang menimbun barang demi ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini menyebabkan barang menjadi langka dipasaran. Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan penawarannya guna mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa. (HR. Muslim, no. 1605)
Penimbunan barang bertentangan dengfan kedua prinsip yang telah dipaparkan diatas, sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan. Masyarakat pasti tidak rela dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini dan juga meresahkan mereka.

2.        Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah, sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya, bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam ini tidak selaras dengan syariat Islam.
Perhatikanlah sebuah hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108 yang artinya, Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi adayang mau beli dengan harga yang lebih mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada disumurnya), dan kelak Allah akan berfirman: Pada hari ini Aku akan menghalangimu dari keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu.”

Diantara trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram.

Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin/83:1-3).

3.        Pemalsuan Barang
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bahan makanan tersebut, lalu jari jemari beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam merasakan sesuatu yang basah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apa ini? Wahai pemilik bahan makanan.” Ia menjawab, ‘Terkena hujan, Wahai Rasulullah!’ Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabui, maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim, no. 102)

Saya percaya anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga tidak sudi untuk menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil keuntungan materi.

Penutup
Saudaraku! Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, akan tetapi tidak sepantasnya menghalalkan segala cara. Citai-cita ini mesti diupayakan dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda sebagai seorang muslim. Tidak sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan anda, sehingga lalai untuk berbuat baik kepada saudara. Ingatlah selalu, sikap mulia yang anda tunjukkan kepada saudara anda, tidak akan sia-sia. Semua akhlak mulia, pasti mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mudahkanlah saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya dan tidak memasang target keuntungan yang memberatkan konsumen. Percayalah, kekayaan dan kebahagiaan hidup yang anda dambakan dengan keuntungan melimpah dengan mudah dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat, dan bila ada khilaf, maka itu datangnya dari kebodohan saya.
Wallahu a’lam bishshawab.

(jawaban ini disalin dan diringkas dari majalah As-Sunah Edisi 07/THN.XIV/Dzulhijjah 1431H/November 2010M hal. 46-49).

Posted By Sugeng Setiyo Budi, S.Th.I09.25