HUKUM MENGHADIRI RESEPSI PERNIKAHAN NON-MUSLIM
Manusia merupakan makhluk
sosial, makhluk yang selalu butuh pada orang lain. Si kaya butuh pada si
miskin, yang kuat butuh pada yang lemah, begitu juga sebaliknya, dan lain
sebagainya. Karena sebagai makhluk sosial itulah setiap manusia butuh
berinteraksi dengan orang lain.
Interaksi yang terjadi sudah
dalam lintas budaya, ras, bahasa, negara, bahkan agama. Itu semua terjadi demi
terpenuhinya kebutuhan hidup. Sehingga perbedaan-perbedaan sama sekali tidak
menjadi persoalan. Kalau masih ada orang yang menganggap perbedaan merupakan
halangan untuk beriteraksi, maka ia masih belum memahami makna hidup yang
sebenarnya.
Sekarang kita bisa melihat di
negeri ini dengan mudah contoh interaksi yang baik, walau berbeda agama. Dari
adanya interaksi yang baik itu, maka hubungan emosional bisa terbangun. Ketika
tetangga atau teman yang non muslim gembira, maka si muslim pun juga ikut
gembira, begitu pula sebaliknya. Saat si muslim sedih mereka ikut sedih, begitu
pun sebaliknya. Apalagi ketika yang non muslim tersebut masih merupakan sanak
keluarga.
Hubungan emosional yang baik
itu misalnya diwujudkan dengan turut diundangnya si muslim menghadiri resepsi
pernikahan mereka, yang notabene non muslim. Sebagai wujud penghormatan, si
muslim pun akan menghadirinya. Ketika si muslim menghelat resepsi pernikahan,
pun tak lupa kerabat, kawan atau tetangga yang non muslim turut diundang. Hal
seperti ini sudah sering terjadi di lingkungan kita. Apalagi bagi seorang
muslim yang hidup di tengah-tengah non muslim.
Hal ini lah yang akan menjadi
pembahasan Tadris pada edisi kali ini. Bagaimana hukum menghadiri pernikahan
orang non muslim? Dan bagaimana pula hukum mengundang non muslim menghadiri
resepsi pernikahan kita?
Resepsi pernikahan dalam
bahasa arab dikenal dengan istilah walîmah 'urs. Ketika diucapkan kata walîmah,
tanpa menampilkan kata 'urs juga bermakna resepsi pernikahan. Sedangkan
untuk menunjukkan selain resepsi pernikahan, maka harus manambah kata di
belakang kata walîmah itu, seperti walîmah khitan. Sebab
pada dasarnya kata walîmah memang dipakai untuk menunjukkan makna
resepsi pernikahan.
Walîmah
dilaksanakan tidak lain ialah untuk memberitahukan pada khalayak ramai bahwa
ada dua insan telah berjanji untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tentu
memberitahu adanya pernikahan itu sangat penting, mengingat nikah merupakan hal
yang sakral, dan nikah juga mengubah hukum haram jima' menjadi halal, serta
beberapa rentetan imbas dari nikah.
Walaupun walîmah
sangat penting, namun ulama bersilang pendapat berkenaan apakah walîmah
itu wajib atau hanya sunnah. Yang berpendapat wajib mendasarkan pendapatnya
pada perintah Nabi untuk melakukan walîmah. Sementara yang berpendapat
sunnah beralasan karena akad nikah sendiri tidak wajib, maka walimahnya juga
tidak wajib. [al-Hâwiy al-Kabîr, XII:191]
Bukan hanya di situ
pertentangan ulama berkaitan dengan walimah. Ulama juga berselisih pendapat
berkenaan dengan hukum menghadiri undangan walîmah. Dalam hal ini mereka
terkelompok menjadi dua, yaitu: berpendapat wajib dan sunnah. [Raudhatu
al-Thâlibîn wa Umdatu al-Muftîn, III:64]
Jumhur ulama yang terdiri
dari Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah ada di pihak yang berpendapat wajib.
Sedangkan ulama yang berpendapat sunnah ialah kalangan Hanafiyah dan sebagian
Syafi'iyah. [al-Fiqhu al-Islâm wa Adillatuhu, IX:115]
Jumhur ulama berdalil dengan
beberapa Hadits, diantaranya:
إذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إلَى
وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
"Apabila salah
satu di antara kalian diundang untuk (menghadiri) resepsi pernikahan, maka
penuhilah (undangan itu)" [Shahîhu al-Muslim, IX:224]
Dalam Hadits tersebut
rasulullah secara tegas memerintahkan seseorang yang diundang dalam resepsi
untuk menghadirinya. Bentuk perintah itu diwujudkan dengan kata فَلْيُجِبْ . Kata يُجِبْ pada dasarnya bukan menunjukkan
perintah, akan tetapi karena bersama dengan huruf lam amr (lam yang
menunjukkan perintah), maka berubah menjadi bentuk perintah.
Setiap perintah menunjukkan
makna wajib, selama tidak ada dalil yang menunjukkan pada makna lain. Oleh
karena itu, perintah dalam Hadits tersebut bermakna wajib. Demikianlah alur
fikir yang digunakan oleh jumhur ulama, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa
menghadiri undangan resepsi pernikahan hukumnya wajib. [Ushûl al-Fiqh Abdul
Wahhâb Khallâf:13]
Penunjukan amr (perintah)
pada makna wajib ini juga diperkuat oleh Hadits lain,
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
"Barang siapa meninggalkan (tidak menghadiri) undangan,
maka ia telah tidak menaati Allah dan Rasul-Nya". [Shahîhu
al-Bukhâri, VXII:271]
Hadits ini menjelaskan bahwa
orang yang tidak menghadiri undangan tidak mentaati apa yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Secara tidak langsung Hadits ini menjelaskan bahwa orang
itu telah melakukan dosa. Sedangkan salah satu penyebab dari dosa ialah
meninggalkan kewajiban. Berarti memang sudah pas, kalau perintah untuk
menghadiri undangan itu menunjukkan terhadap wajib, bukan sunnah. Karena kalau
hanya sunnah ditinggalkan tidak sampai dianggap dosa.
Selanjutnya, yang menjadi
persoalan inti dalam pembahasan kali ini, apakah kewajiban itu tetap berlaku
ketika yang mengundang adalah orang non muslim?
Seperti yang biasa terjadi,
para ulama juga berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendapat
wajib, sebagaimana menghadiri undangan resepsi pernikahan orang muslim. Dengan
landasan bahwa perintah menghadiri walimah itu bersifat umum, mencakup
muslim dan non muslim. Oleh karenanya, maka menghadiri undangan non muslim juga
wajib. [al-Hâwiy al-Kabîr, XII:94]
Sedangkan jumhur ulama yang
pada awalnya mengatakan wajib menghadiri undangan, dalam masalah ini mereka
mengatakan tidak wajib, karena kewajiban itu berlaku ketika tidak ada hal yang
menggugurkan kewajiban tersebut. Diantara hal yang dapat menggugurkan kewajiban
ialah: kedatangannya akan membantu kezhaliman atau kemaksiatan, ada orang yang
merasa sakit hati dengan kedatangannya, dan di tempat walimah ada
kemungkaran, semisal minum bir.
Di samping itu, jumhur juga
menetapkan beberapa syarat, yaitu: pengundang harus baligh, berakal, dewasa,
merdeka, dan beragama Islam. Selain itu undangannya bersifat jelas, semisal
melalui surat atau disampaikan secara langsung, serta undangannya itu tidak
tertentu pada orang-orang kaya. [Raudhatu al-Thâlibîn,III,64; Kifâyatu
al-Akhyâr, I:498]
Untuk menentukan hukum
menghadiri undangan walimah non muslim ini, mari keluar terlebih dahulu
dari dua pendapat di atas dan simak ayat berikut ini,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berlaku baik dan berbuat
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
mengusirmu dari negerimu". [QS. Al-Mumtahanah: 08]
Allah tidak mempermasalahkan
kita untuk bersikap baik pada orang non muslim, khususnya dzimmiy.
Walaupun agama berbeda, sikap baik harus tetap terbina, agar tercipta hubungan
yang baik pula. Bahkan rasulullah melarang umatnya untuk menyakiti dzimmy.
Beliau pernah bersabda,
مَنْ آذَى ذِمِّياً فَأَناَ خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمُهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang
siapa yang menyakiti kafir dzimmiy (kafir yang berdamai dengan kita), maka
akulah musuhnya. Dan barang siapa yang bermusuhan dengan aku, aku juga akan
memusuhinya nanti di hari kiamat." [Jâmi'u
al-Ahâdits, XIX:461]
Salah satu bentuk sikap baik
tentu dengan menghadiri undangan resepsi pernikahannya. Dengan hadir berarti
kita sudah menghargai undangan mereka dan mereka akan merasa senang dengan
kehadiran kita, dan hal ini akan mempererat tali silaturrahmi.
Namun timbul persoalan, yaitu
kadang-kadang makanan mereka merupakan sesuatu yang haram atau najis. Mengingat
ada sebagian barang haram yang jadi menu makanan mereka, atau proses
pembersihannya tidak memenuhi syarat, sehingga dimungkinkan makanan itu bisa
najis. Orang Islam pun terkadang merasa jijik dengan makanan mereka. Selain
itu, harta mereka dimungkinkan berasal dari sesuatu yang haram, sebab tasharruf
(transakasi) mereka itu bisa fasid (rusak, tidak sah), semisal
didapat dari menjual minuman keras. Karena alasan seperti inilah jumhur
bependapat tidak wajib mendatangi undangan resepsi dari non muslim. [Syarhu
al-Kabîr, VIII:108; al-Mughnîy, XV:493]
Nah,
sekarang ada dua hal yang bertolak belakang, satu sisi ada keharusan untuk
menghadiri undangan resepsi, di sisi lain ada beberapa hal yang menghalangi hal
itu. Untuk mengatakan wajib khawatir haram dengan beberapa alasan yang
disebutkan di atas, sedangkan untuk mengatakan haram khawatir hal itu wajib,
dengan beberapa alasan yang telah disebutkan juga.
Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, kita bisa mengambil jalan tengah, yakni bahwa menghadiri
resepsi non muslim hukumnya sunnah. Dengan begini kita sudah mengamalkan kedua
pendapat ulama yang mengatakan wajib menghadiri dan yang tidak, tanpa
mengabaikan salah satunya. Ini selaras dengan kaidah,
الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ
مُسْتَحَبٌّ
"Keluar dari perbedaan itu lebih disenangi". [al-Madkhal
ila Qawâ'idi al-Fiqhiyyah: 173]
Hukum sunnah ini juga
dilontarkan sebagian ulama. Hanya saja mereka menambahkan bahwa kesunnahannya
itu tidak sama nilainya dengan kesunnahan menghadiri undangan orang muslim,
yang oleh sebagian ulama memang diputuskan sebagai kesunnahan. Ada juga yang
berpendapat bahwa kesunnahan itu berlaku hanya ketika si dzimmy
merupakan kerabat, tetangga, atau bisa diharapkan untuk masuk Islam. [I'ânatu
al-Thâlibîn, III:408; Tuhfatu al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj, XXXI:390]
Sedangkan mengenai makanan
dan harta si pengundang juga kita tidak perlu terlalu dipermasalahkan, dengan
catatan kita tidak tahu bahwa itu haram atau najis maka kita bisa memakannya. Toh,
harta orang Islam pun juga bisa dimungkinkan diperoleh melalui jalan haram,
padahal kita tidak mempermasalahkannya. Terlebih, memakan sesuatu yang
dihidangkan juga bukan keharusan, para ulama hanya menghukumi sunnah. Kalau
memang mau sangat berhati-hati tidak perlu memakan makanan yang dihidangkan.
[Marqatu al-Mafâtih Syarhu Misykâtu al-Mashâbih, X:161]
Menurut sebuah riwayat dari
Imam Ahmad yang berasal dari shahabat Anas,
menyebutkan bahwa Nabi pernah diundang oleh orang Yahudi untuk makan
roti yang terbuat dari gandum dan Nabi pun menghadiri undangan tersebut. Tapi
tidak dijelaskan apakah Nabi memakan roti yang dihidangkan atau tidak. Hadits
ini juga lebih memperjelas bahwa permasalahan makanan ini tidak menjadi
penyebab seseorang mengurungkan niatnya untuk menghadiri resepsi pernikahan dzimmy.
[Tuhfatu al-Ahwâdz, III:165; Umdatu al-Qârîy, XX:158]
Kalau sejak awal membahas
tentang menghadiri resepsi pernikahan non muslim, lantas bagaimana hukum
mengundang non muslim untuk datang dalam resepsi pernikahan muslim?.
Untuk menjawab persoalan ini,
kita bisa kembali lagi pada pembahasan "bagaimana seharusnya sikap seorang
muslim pada non musli,". Dan di atas sudah dijelaskan bagaimana
orang Islam juga berbuat baik pada non muslim, ya salah satunya dengan
mengundang mereka dalam acara resepsi. Sehingga tidak ada hal yang melarang
seorang muslim mengundang mereka.
Terlebih kalau antara si
muslim dan non muslim ada hubungan erat, misalnya hubungan saudara, teman
karib, atau tetangga. Bahkan ketika gambarannya seperti ini dan mereka tidak
turut diundang, maka mereka bisa sakit hati dan merasa tidak dianggap lagi. Ini
tentu ujung-ujungnya akan menimbulkan hal yang tidak baik. Padahal hubungan
baik dengan siapapun harus tetap dibina.
Mempertimbangkan
hal itu semua, sudah selayaknya bagi
kita sebagai orang Islam untuk menghormati undangan resepsi non muslim.
Yang terpenting, tujuan kita baik, yaitu toleransi antaragama, tanpa
menggadaikan akidah kita. Begitu juga mengundang mereka dalam resepsi
pernikahan yang kita adakan. Dengan demikian, Islam semakin terlihat sebagai
agama yang ramah pada setiap umat manusia.Sumber : http://elkafi.net/artikel-147-menghadiri-walimah-nonmuslim.html
Hadir tapi tidak usah mengikuti semua acara seperti ketika sudah masuk ke acara ritual. Karena kita bisa termasuk ikut dalam dakwahnya.
BalasHapusKalau tidak terlalu dekat lebih baik tidak hadir, kalo hadir apakah bisa berdakwah di sana??? Makanan nya juga banyak yang tidak pikirkan halal atau tidak. Btw, riwayat nabi di undang makan roti oleh Yahudi, Yahudi itu gak makan babi. Btw. Beda dengan Kristen, mereka gak peduli babi itu haram tetap mereka makan, baik daging ataupun minyaknya ataupun unsur2 babi yang sudah berubah bentuk menjadi lard, butter, margarin, bumbu masakan lainnya, na'udzubillahi mindzalik
BalasHapusKalau tidak terlalu dekat lebih baik tidak hadir, kalo hadir apakah bisa berdakwah di sana??? Makanan nya juga banyak yang tidak pikirkan halal atau tidak. Btw, riwayat nabi di undang makan roti oleh Yahudi, Yahudi itu gak makan babi. Btw. Beda dengan Kristen, mereka gak peduli babi itu haram tetap mereka makan, baik daging ataupun minyaknya ataupun unsur2 babi yang sudah berubah bentuk menjadi lard, butter, margarin, bumbu masakan lainnya, na'udzubillahi mindzalik
BalasHapus