Kamis, 03 Mei 2012

Ketentuan Prosentase Keuntungan Dalam Berdagang

Filled under:

Ketentuan Prosentase Keuntungan Dalam Berdagang
 
DUA PRINSIP DASAR PERNIAGAAN:
Sebelum membahas tentang prosentase keuntungan dalam islam, ada baiknya kita mengetahui dua prinsip dasar perniagaan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan jawaban pertanyaan diatas.

Prinsip Pertama: Asas Suka Sama Suka
Islam yang kita cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa kerelaannya –walau sekedar bercanda-.
لَايَأخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاوَلَاجَادًّاوَإِذَاأَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَاعَلَيْهِ.
Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. (HR. Ahmad, 4/221)

Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’/4:29)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّابِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ.
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwanya. (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 839)

Dan pada hadits lain beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih tegas lagi bersabda:
إِنَّمَاالْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka. (HR. Ibnu Majah dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah, no. 2185 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)

Dalam riwayat lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَايَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّاعَنْ تَرَاضٍ.
Janganlah dua orang yang berjual beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka sama suka. (HR. Ibnu MaAhmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Musnad Imam Ahmad, 2/536 dan Irwaaul Ghalil, no. 1283)

Betapa kacau kehidupan manusia bila mereka mereka bebas membeli harta sesama, tanpa memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis, permusuhan bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.
Berdasarkan ini, para Ulama` menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa tanpa alasan yang dibenarkan.

Prinsip Kedua: Tidak Merugikan Orang Lain:
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat/49:10).

Dalam riwayat Muslim no 2586 Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang dan bahu membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam.

Imam Nawawi mengatakan,, “Hadits ini dengan tegas dan jelas menunjukkan betapa agung hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga merupakan anjuran kepada mereka agar saling menyayangi, berlemah lembut dan membantu dalam hal-hal yang tidak termasuk perbuatan dosa atau hal-hal yang dibenci.” (Syarah Muslim, oleh Imam An-Nawawi 16/139).

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no. 2558)

Dengan dasar dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama` ahli fikih mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum baik kerugian dalam urusan agama atau urusan dunia.

Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha?
Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut:

Dalil Pertama:
عَنْ عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.
Dari Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)

Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya merestui, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semakin lihai berniaga.

Dalil Kedua:
Berbagai dalil yang telah dikemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan dalil dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah memiliki barang daganganny, maka tidak ada alasan untuk memaksanya agar menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.

Dalil Ketiga:
Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual!” Menanggapi permintaan ini, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “sesungguhnya Allah-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allah dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.” (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih, no. 2894).

Saudaraku! Coba anda cermati alasan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia inginkan.


Catatan Penting:
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga diatas. Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain:

1.        Menimbun Barang
Sebagian pedagang menimbun barang demi ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini menyebabkan barang menjadi langka dipasaran. Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan penawarannya guna mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa. (HR. Muslim, no. 1605)
Penimbunan barang bertentangan dengfan kedua prinsip yang telah dipaparkan diatas, sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan. Masyarakat pasti tidak rela dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini dan juga meresahkan mereka.

2.        Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah, sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya, bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam ini tidak selaras dengan syariat Islam.
Perhatikanlah sebuah hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108 yang artinya, Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi adayang mau beli dengan harga yang lebih mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada disumurnya), dan kelak Allah akan berfirman: Pada hari ini Aku akan menghalangimu dari keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu.”

Diantara trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram.

Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin/83:1-3).

3.        Pemalsuan Barang
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bahan makanan tersebut, lalu jari jemari beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam merasakan sesuatu yang basah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apa ini? Wahai pemilik bahan makanan.” Ia menjawab, ‘Terkena hujan, Wahai Rasulullah!’ Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabui, maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim, no. 102)

Saya percaya anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga tidak sudi untuk menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil keuntungan materi.

Penutup
Saudaraku! Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, akan tetapi tidak sepantasnya menghalalkan segala cara. Citai-cita ini mesti diupayakan dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda sebagai seorang muslim. Tidak sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan anda, sehingga lalai untuk berbuat baik kepada saudara. Ingatlah selalu, sikap mulia yang anda tunjukkan kepada saudara anda, tidak akan sia-sia. Semua akhlak mulia, pasti mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mudahkanlah saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya dan tidak memasang target keuntungan yang memberatkan konsumen. Percayalah, kekayaan dan kebahagiaan hidup yang anda dambakan dengan keuntungan melimpah dengan mudah dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat, dan bila ada khilaf, maka itu datangnya dari kebodohan saya.
Wallahu a’lam bishshawab.

(jawaban ini disalin dan diringkas dari majalah As-Sunah Edisi 07/THN.XIV/Dzulhijjah 1431H/November 2010M hal. 46-49).

0 komentar:

Posting Komentar