Shalat Sunnah Rawatib
1. Keutamaan Sholat Sunnah Rawatib
Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,
Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ
كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ
بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى
الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ
أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ
“Seorang hamba yang muslim melakukan shalat
sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap
hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.”
(Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku
mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.” [1]
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab: keutamaan shalat sunnah rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau Riyadhus Shaalihiin. [2]
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits
ini:
- Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu. [3]
- Dalam riwayat lain hadits ini dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas[4], yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur[5] dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Magrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh[6]. Adapun riwayat yang menyebutkan: “…Dua rakaat sebelum shalat Ashar”, maka ini adalah riwayat yang lemah[7] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya. [8]
- Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnah rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, perawi hadits di atas dan demikian yang diterangkan oleh para ulama[9].
- Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnah rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadha (menggantinya) di waktu lain[10]. Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahih. [11]
- Dalam hadits ini terdapat peringatan untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Alah Ta’ala semata-mata.
- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.” [12]
- Semangat dan kesungguhan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka
Yang
lebih utama dari shalat rawatib adalah shalat sunnah fajar (shalat sunnah
qobliyah shubuh). ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
رَكْعَتَا
الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat sunnah fajar (subuh)
lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)
Juga dalam hadits ‘Aisyah yang
lainnya, beliau berkata,
لَمْ
يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ
النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِأخرجه الشيخان
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah yang kontinuitasnya
(kesinambungannya) melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Shubuh.” (HR.
Bukhari no. 1169 dan Muslim no. 724)
Footnote:
[1] HSR Muslim (no. 728).
[2] Riyadhus Shalihin (bab no. 195,
hal. 1409).
[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam Shahih
Muslim (1/502).
[4] Lihat keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Syarh
Riyadhish Shaalihiin (3/282).
[5] Dikerjakan dua raka’at – salam dan dua
raka’at – salam (ed)
[6] HR an-Nasa-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273)
dan Ibnu Majah (1/361), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih
sunan Ibnu Majah (no. 935).
[7] Dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani
dalam Dha’iful
Jaami’ish Shagiir (no. 5672).
[8] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 22).
[9] Lihat misalnya kitab Faidhul
Qadiir (6/166).
[10] Demikian keterangan yang kami dengar
langsung dari guru kami yang mulia, syaikh Abdul Muhsin al-’Abbaad, semoga
Allah menjaga beliau.
[11] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 29,
33-34).
[12] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no.
783).
2. Jumlah Sholat Sunnah
Rawatib
Dalam riwayat At Tirmidzi sama dari
Ummu Habibah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى
الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ
صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Barangsiapa
sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan dibangunkan
baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at setelah
Zhuhur, 2 raka’at setelah Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at
sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi no. 415 dan An Nasai no. 1794, kata Syaikh
Al Albani hadits ini shahih).
3. Surat yang Dibaca pada
Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari
Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al
Ikhlas (قل هو الله أحد).” (HR.
Muslim no. 726)
Dan
dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya:
“Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah
sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا
آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat
keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون)
(QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)
4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib
Dari
Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah
shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah
sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها
الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو
الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat
hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)
5. Apakah Sholat Rawatib 4
Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?
As-Syaikh
Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di
dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam
bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu
malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa
As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)
6. Apakah Pada Sholat
Ashar Terdapat Rawatib?
As-Syaikh
Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum
dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat
ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)
7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at
As-Syaikh
Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum
sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’.
Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan
sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz
12/386&387)
8. Sholat Rawatib Ba’diyah
Jum’at
Dari
Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at,
maka sholatlah sesudahnya empat rakaat”. (HR. Muslim no. 881)
As-Syaikh
Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat
sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’
Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)
9. Sholat Rawatib Dalam
Keadaan Safar
Ibnu
Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam
safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat
sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di
antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad
1/315)
As-Syaikh
Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat
rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ fatawa 11/390)
10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib
Dari
Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan
jadikan rumah kalian bagai kuburan”. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)
As-Syaikh
Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang
untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun
maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid
An-Nabawi; karena saat nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara
beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan
melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari
kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/295)
11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib
Ibnu
Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari
masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat
rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga
berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)
12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib
Dari
Anas radiyallahu ‘anhu dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak
ada tebusan kecuali hal itu”. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah
rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/90)
13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang
Ibnu
Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqodho’ sholat
ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena
apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’
diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan
terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul
Ma’ad 1/308)
14. Waktu Mengqodho’
Sholat Rawatib Sebelum Subuh
Dari
Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh,
maka sholatlah setelah matahari terbit”. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh
Al-albani)
Dan
dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan
sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang
mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh
dua kali?”. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan
sholat sebelum subuh, rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR.
At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no.
422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)
As-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid
mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya
dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh,
tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi
tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)
15. Jika Sholat Subuh
Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu
atau Sholat Subuh?
As-Syaikh
Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas
sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat
subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid”
(Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)
16. Pengurutan Ketika
Mengqodho’
As-Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat
rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka
yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh:
Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati
imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah
selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat,
kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)
17. Mengqodho’ Sholat
Rawatib yang Banyak Terlewatkan
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat
rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan
(muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang
utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena
mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana
“Ketika rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang
Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat
bahwasannya rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu
tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang
utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya
bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 238)
18. Menggabungkan
Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’
As-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid
diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat
sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan
mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa
digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau
digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah,
hal. 75)
19. Menggabungkan Sholat
Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Duha
As-Syaikh
Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah
subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka
pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha,
dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak
boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu
tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah
satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa
As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)
20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikhorah
Dari
Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan
sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau
bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka
sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib
tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala
(boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)
21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan
Dari
Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali
sholat fardhu”. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi
berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat
sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti
rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)
22. Memutus Sholat Rawatib
Ketika Sholat Fardhu ditegakkan
As-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan
ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat
rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan
diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda nabi shallallahu
‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat
kecuali sholat fardhu..”, akantetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang
sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan
bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada
saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa
11/392 dan 393)
23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah
Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?
As-Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan:
“Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang
kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan
meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat
bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena
menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah
rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 609)
24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat
Rawatib
As-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui
adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk
berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan
mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak
melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah
ada riwayat yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib
pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat
meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah
baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul
Islam, hal. 171)
25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?
Imam
Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat
fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga
sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”.
(Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)
26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan
Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum
muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya
mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti
ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts
Al-’Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)
27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu
Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh
Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat
jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib
setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?
Jawaban
beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan
dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan
baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah
sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak
sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena
menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya
ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat
ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan
mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati
Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)
28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat
Rawatib
As-Syaikh
Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang
mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih
afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya
seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib,
maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’
Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)
29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib
Maupun Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh
Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah
sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan
saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan
lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak
mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi
(dibolehkan) oleh atasannya.
30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?
As-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’:
(Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan
yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah
(sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga
sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia
adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan
Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil
dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang
yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang
adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya
bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara
baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”.
(Majmu’ Fatawa 11/382)
Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)
Lembaran
singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul
“Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.
Dan
sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam
dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin
Ummul
Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H
Penulis:
As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-’Anziy
Sumber:
Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)
Penerjemah:
Abu Ahmad Meilana Dharma Putra
Muroja’ah:
Al-Ustadz Abu Raihana, MA.
Artikel
www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar