Senin, 14 November 2011

Hukum Menghadiri Resepsi Pernikahan non Muslim

Filled under:

HUKUM MENGHADIRI RESEPSI PERNIKAHAN NON-MUSLIM



Manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang selalu butuh pada orang lain. Si kaya butuh pada si miskin, yang kuat butuh pada yang lemah, begitu juga sebaliknya, dan lain sebagainya. Karena sebagai makhluk sosial itulah setiap manusia butuh berinteraksi dengan orang lain.
Interaksi yang terjadi sudah dalam lintas budaya, ras, bahasa, negara, bahkan agama. Itu semua terjadi demi terpenuhinya kebutuhan hidup. Sehingga perbedaan-perbedaan sama sekali tidak menjadi persoalan. Kalau masih ada orang yang menganggap perbedaan merupakan halangan untuk beriteraksi, maka ia masih belum memahami makna hidup yang sebenarnya.
Sekarang kita bisa melihat di negeri ini dengan mudah contoh interaksi yang baik, walau berbeda agama. Dari adanya interaksi yang baik itu, maka hubungan emosional bisa terbangun. Ketika tetangga atau teman yang non muslim gembira, maka si muslim pun juga ikut gembira, begitu pula sebaliknya. Saat si muslim sedih mereka ikut sedih, begitu pun sebaliknya. Apalagi ketika yang non muslim tersebut masih merupakan sanak keluarga.
Hubungan emosional yang baik itu misalnya diwujudkan dengan turut diundangnya si muslim menghadiri resepsi pernikahan mereka, yang notabene non muslim. Sebagai wujud penghormatan, si muslim pun akan menghadirinya. Ketika si muslim menghelat resepsi pernikahan, pun tak lupa kerabat, kawan atau tetangga yang non muslim turut diundang. Hal seperti ini sudah sering terjadi di lingkungan kita. Apalagi bagi seorang muslim yang hidup di tengah-tengah non muslim.    
Hal ini lah yang akan menjadi pembahasan Tadris pada edisi kali ini. Bagaimana hukum menghadiri pernikahan orang non muslim? Dan bagaimana pula hukum mengundang non muslim menghadiri resepsi pernikahan kita? 
Resepsi pernikahan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah walîmah 'urs. Ketika diucapkan kata walîmah, tanpa menampilkan kata 'urs juga bermakna resepsi pernikahan. Sedangkan untuk menunjukkan selain resepsi pernikahan, maka harus manambah kata di belakang kata walîmah itu, seperti walîmah khitan. Sebab pada dasarnya kata walîmah memang dipakai untuk menunjukkan makna resepsi pernikahan.
Walîmah dilaksanakan tidak lain ialah untuk memberitahukan pada khalayak ramai bahwa ada dua insan telah berjanji untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tentu memberitahu adanya pernikahan itu sangat penting, mengingat nikah merupakan hal yang sakral, dan nikah juga mengubah hukum haram jima' menjadi halal, serta beberapa rentetan imbas dari nikah.
Walaupun walîmah sangat penting, namun ulama bersilang pendapat berkenaan apakah walîmah itu wajib atau hanya sunnah. Yang berpendapat wajib mendasarkan pendapatnya pada perintah Nabi untuk melakukan walîmah. Sementara yang berpendapat sunnah beralasan karena akad nikah sendiri tidak wajib, maka walimahnya juga tidak wajib. [al-Hâwiy al-Kabîr, XII:191]
Bukan hanya di situ pertentangan ulama berkaitan dengan walimah. Ulama juga berselisih pendapat berkenaan dengan hukum menghadiri undangan walîmah. Dalam hal ini mereka terkelompok menjadi dua, yaitu: berpendapat wajib dan sunnah. [Raudhatu al-Thâlibîn wa Umdatu al-Muftîn, III:64]
Jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah ada di pihak yang berpendapat wajib. Sedangkan ulama yang berpendapat sunnah ialah kalangan Hanafiyah dan sebagian Syafi'iyah. [al-Fiqhu al-Islâm wa Adillatuhu, IX:115]
Jumhur ulama berdalil dengan beberapa Hadits, diantaranya:
إذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
  "Apabila salah satu di antara kalian diundang untuk (menghadiri) resepsi pernikahan, maka penuhilah (undangan itu)" [Shahîhu al-Muslim, IX:224]
Dalam Hadits tersebut rasulullah secara tegas memerintahkan seseorang yang diundang dalam resepsi untuk menghadirinya. Bentuk perintah itu diwujudkan dengan kata فَلْيُجِبْ . Kata يُجِبْ pada dasarnya bukan menunjukkan perintah, akan tetapi karena bersama dengan huruf lam amr (lam yang menunjukkan perintah), maka berubah menjadi bentuk perintah.
Setiap perintah menunjukkan makna wajib, selama tidak ada dalil yang menunjukkan pada makna lain. Oleh karena itu, perintah dalam Hadits tersebut bermakna wajib. Demikianlah alur fikir yang digunakan oleh jumhur ulama, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa menghadiri undangan resepsi pernikahan hukumnya wajib. [Ushûl al-Fiqh Abdul Wahhâb Khallâf:13]
Penunjukan amr (perintah) pada makna wajib ini juga diperkuat oleh Hadits lain,
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
"Barang siapa meninggalkan (tidak menghadiri) undangan, maka ia telah tidak menaati Allah dan Rasul-Nya". [Shahîhu al-Bukhâri, VXII:271]
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang tidak menghadiri undangan tidak mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Secara tidak langsung Hadits ini menjelaskan bahwa orang itu telah melakukan dosa. Sedangkan salah satu penyebab dari dosa ialah meninggalkan kewajiban. Berarti memang sudah pas, kalau perintah untuk menghadiri undangan itu menunjukkan terhadap wajib, bukan sunnah. Karena kalau hanya sunnah ditinggalkan tidak sampai dianggap dosa.
Selanjutnya, yang menjadi persoalan inti dalam pembahasan kali ini, apakah kewajiban itu tetap berlaku ketika yang mengundang adalah orang non muslim?
Seperti yang biasa terjadi, para ulama juga berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendapat wajib, sebagaimana menghadiri undangan resepsi pernikahan orang muslim. Dengan landasan bahwa perintah menghadiri walimah itu bersifat umum, mencakup muslim dan non muslim. Oleh karenanya, maka menghadiri undangan non muslim juga wajib. [al-Hâwiy al-Kabîr, XII:94]
Sedangkan jumhur ulama yang pada awalnya mengatakan wajib menghadiri undangan, dalam masalah ini mereka mengatakan tidak wajib, karena kewajiban itu berlaku ketika tidak ada hal yang menggugurkan kewajiban tersebut. Diantara hal yang dapat menggugurkan kewajiban ialah: kedatangannya akan membantu kezhaliman atau kemaksiatan, ada orang yang merasa sakit hati dengan kedatangannya, dan di tempat walimah ada kemungkaran, semisal minum bir.
Di samping itu, jumhur juga menetapkan beberapa syarat, yaitu: pengundang harus baligh, berakal, dewasa, merdeka, dan beragama Islam. Selain itu undangannya bersifat jelas, semisal melalui surat atau disampaikan secara langsung, serta undangannya itu tidak tertentu pada orang-orang kaya. [Raudhatu al-Thâlibîn,III,64; Kifâyatu al-Akhyâr, I:498]
Untuk menentukan hukum menghadiri undangan walimah non muslim ini, mari keluar terlebih dahulu dari dua pendapat di atas dan simak ayat berikut ini,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berlaku baik dan berbuat adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu". [QS. Al-Mumtahanah: 08]
Allah tidak mempermasalahkan kita untuk bersikap baik pada orang non muslim, khususnya dzimmiy. Walaupun agama berbeda, sikap baik harus tetap terbina, agar tercipta hubungan yang baik pula. Bahkan rasulullah melarang umatnya untuk menyakiti dzimmy. Beliau pernah bersabda,
مَنْ آذَى ذِمِّياً فَأَناَ خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمُهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang menyakiti kafir dzimmiy (kafir yang berdamai dengan kita), maka akulah musuhnya. Dan barang siapa yang bermusuhan dengan aku, aku juga akan memusuhinya nanti di hari kiamat." [Jâmi'u al-Ahâdits, XIX:461]
Salah satu bentuk sikap baik tentu dengan menghadiri undangan resepsi pernikahannya. Dengan hadir berarti kita sudah menghargai undangan mereka dan mereka akan merasa senang dengan kehadiran kita, dan hal ini akan mempererat tali silaturrahmi.
Namun timbul persoalan, yaitu kadang-kadang makanan mereka merupakan sesuatu yang haram atau najis. Mengingat ada sebagian barang haram yang jadi menu makanan mereka, atau proses pembersihannya tidak memenuhi syarat, sehingga dimungkinkan makanan itu bisa najis. Orang Islam pun terkadang merasa jijik dengan makanan mereka. Selain itu, harta mereka dimungkinkan berasal dari sesuatu yang haram, sebab tasharruf (transakasi) mereka itu bisa fasid (rusak, tidak sah), semisal didapat dari menjual minuman keras. Karena alasan seperti inilah jumhur bependapat tidak wajib mendatangi undangan resepsi dari non muslim. [Syarhu al-Kabîr, VIII:108; al-Mughnîy, XV:493]
Nah, sekarang ada dua hal yang bertolak belakang, satu sisi ada keharusan untuk menghadiri undangan resepsi, di sisi lain ada beberapa hal yang menghalangi hal itu. Untuk mengatakan wajib khawatir haram dengan beberapa alasan yang disebutkan di atas, sedangkan untuk mengatakan haram khawatir hal itu wajib, dengan beberapa alasan yang telah disebutkan juga.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kita bisa mengambil jalan tengah, yakni bahwa menghadiri resepsi non muslim hukumnya sunnah. Dengan begini kita sudah mengamalkan kedua pendapat ulama yang mengatakan wajib menghadiri dan yang tidak, tanpa mengabaikan salah satunya. Ini selaras dengan kaidah,
الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
"Keluar dari perbedaan itu lebih disenangi". [al-Madkhal ila Qawâ'idi al-Fiqhiyyah: 173]
Hukum sunnah ini juga dilontarkan sebagian ulama. Hanya saja mereka menambahkan bahwa kesunnahannya itu tidak sama nilainya dengan kesunnahan menghadiri undangan orang muslim, yang oleh sebagian ulama memang diputuskan sebagai kesunnahan. Ada juga yang berpendapat bahwa kesunnahan itu berlaku hanya ketika si dzimmy merupakan kerabat, tetangga, atau bisa diharapkan untuk masuk Islam. [I'ânatu al-Thâlibîn, III:408; Tuhfatu al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj, XXXI:390]
Sedangkan mengenai makanan dan harta si pengundang juga kita tidak perlu terlalu dipermasalahkan, dengan catatan kita tidak tahu bahwa itu haram atau najis maka kita bisa memakannya. Toh, harta orang Islam pun juga bisa dimungkinkan diperoleh melalui jalan haram, padahal kita tidak mempermasalahkannya. Terlebih, memakan sesuatu yang dihidangkan juga bukan keharusan, para ulama hanya menghukumi sunnah. Kalau memang mau sangat berhati-hati tidak perlu memakan makanan yang dihidangkan. [Marqatu al-Mafâtih Syarhu Misykâtu al-Mashâbih, X:161]
Menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad yang berasal dari shahabat Anas,  menyebutkan bahwa Nabi pernah diundang oleh orang Yahudi untuk makan roti yang terbuat dari gandum dan Nabi pun menghadiri undangan tersebut. Tapi tidak dijelaskan apakah Nabi memakan roti yang dihidangkan atau tidak. Hadits ini juga lebih memperjelas bahwa permasalahan makanan ini tidak menjadi penyebab seseorang mengurungkan niatnya untuk menghadiri resepsi pernikahan dzimmy. [Tuhfatu al-Ahwâdz, III:165; Umdatu al-Qârîy, XX:158]
Kalau sejak awal membahas tentang menghadiri resepsi pernikahan non muslim, lantas bagaimana hukum mengundang non muslim untuk datang dalam resepsi pernikahan muslim?.
Untuk menjawab persoalan ini, kita bisa kembali lagi pada pembahasan "bagaimana seharusnya sikap seorang muslim pada non musli,". Dan di atas sudah dijelaskan bagaimana orang Islam juga berbuat baik pada non muslim, ya salah satunya dengan mengundang mereka dalam acara resepsi. Sehingga tidak ada hal yang melarang seorang muslim mengundang mereka.
Terlebih kalau antara si muslim dan non muslim ada hubungan erat, misalnya hubungan saudara, teman karib, atau tetangga. Bahkan ketika gambarannya seperti ini dan mereka tidak turut diundang, maka mereka bisa sakit hati dan merasa tidak dianggap lagi. Ini tentu ujung-ujungnya akan menimbulkan hal yang tidak baik. Padahal hubungan baik dengan siapapun harus tetap dibina.
Mempertimbangkan hal itu semua, sudah selayaknya bagi  kita sebagai orang Islam untuk menghormati undangan resepsi non muslim. Yang terpenting, tujuan kita baik, yaitu toleransi antaragama, tanpa menggadaikan akidah kita. Begitu juga mengundang mereka dalam resepsi pernikahan yang kita adakan. Dengan demikian, Islam semakin terlihat sebagai agama yang ramah pada setiap umat manusia.
 
Sumber : http://elkafi.net/artikel-147-menghadiri-walimah-nonmuslim.html

3 komentar:

  1. Hadir tapi tidak usah mengikuti semua acara seperti ketika sudah masuk ke acara ritual. Karena kita bisa termasuk ikut dalam dakwahnya.

    BalasHapus
  2. Kalau tidak terlalu dekat lebih baik tidak hadir, kalo hadir apakah bisa berdakwah di sana??? Makanan nya juga banyak yang tidak pikirkan halal atau tidak. Btw, riwayat nabi di undang makan roti oleh Yahudi, Yahudi itu gak makan babi. Btw. Beda dengan Kristen, mereka gak peduli babi itu haram tetap mereka makan, baik daging ataupun minyaknya ataupun unsur2 babi yang sudah berubah bentuk menjadi lard, butter, margarin, bumbu masakan lainnya, na'udzubillahi mindzalik

    BalasHapus
  3. Kalau tidak terlalu dekat lebih baik tidak hadir, kalo hadir apakah bisa berdakwah di sana??? Makanan nya juga banyak yang tidak pikirkan halal atau tidak. Btw, riwayat nabi di undang makan roti oleh Yahudi, Yahudi itu gak makan babi. Btw. Beda dengan Kristen, mereka gak peduli babi itu haram tetap mereka makan, baik daging ataupun minyaknya ataupun unsur2 babi yang sudah berubah bentuk menjadi lard, butter, margarin, bumbu masakan lainnya, na'udzubillahi mindzalik

    BalasHapus