Asuransi Syariah (Asuransi Taawun) Vs. Asuransi Konvensional
Bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yang harus
dihadapi manusia di dunia ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko
dalam kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja
ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini.
Oleh karena itu banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat
menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan
asuransi yang merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan
finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan
ke lainnya.
Sisem ini sudah berkembang luas dinegara Indonesia secara khusus dan
dunia secara umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini
dalam tinjauan syari’at islam.
Asuransi Secara Umum
Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien.
Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai
perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada
pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak
yang lain itu akan membayar iuran. [1]
Demikian juga telah didefinisikan dalam perundang-undangan negara
Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. [2]
Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:
1. Pendapat pertama, asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak
pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta
atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang
diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah
atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu
sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah
kepada perusahaan. [3]
2. Pendapat kedua, asuransi adalah perjanjian yang mengikat diri
penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak
tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk
kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya
pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah
dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti
angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung
(pihak asuransi). [4]
3. Pendapat ketiga, asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama
kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan
kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko
kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang
diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk
angsuran atau yang lainnya. [5]
Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:
- Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin Lahu).
- Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
- Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
- Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya. Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI). [6]
Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H. [7]
Kemudian para ulama memberikan solusi dalam masalah ini dengan
merumuskan satu jenis asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad
tabarru’at [8] yang dinamakan at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.
Pengertian Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni)
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:
1. Pendapat pertama, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah
orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka
mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini
dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang
tertimpa kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan
tidak cukup untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk
menutupi kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari
ganti rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali
kelebihan tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung
dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian
anggotanya. Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti
bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari
keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang
menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya
diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan. [9]
2. Pendapat kedua, asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang
yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian
yang menimpa salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah
uang untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya
yang sudah ditetapkan. [10]
3. Pendapat ketiga, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah
orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai
dengan angsuran tertentu yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka
mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu apabila tertimpa
kerugian (bahaya) tertentu.
4. Pendapat keempat, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah
orang yang menanggung resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki
bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas
bagi yang terkena bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara
syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi
maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka
para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi
kekurangannya atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak
mampuan tersebut. Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha
merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang
dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi
untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka.
[11]
Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi
ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat
untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai
akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang
setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad
tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan
dan cari keuntungan. Sebagaimana juga akad ini tidak terkandung riba,
spekulasi terlarang, gharar dan perjudian.
Gambaran paling gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau
sejumlah orang membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang
yang nantinya dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi
kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang
terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi
kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut
maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang
akan datang. Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga atau
yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan
dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya. Lembaga ini
boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana kerja dan
managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut pengelolanya
mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya dengan sukarela.
Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan (bisnis) dan
seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong menolong). [12]
Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:
- Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
- Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
- Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka.
- Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
- Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. [13]
Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun dan Konvensional. [14]
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama
kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara
asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
1. Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang bermaksud murni
takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang
timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya
bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).
2. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun
diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi.
Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau
mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada
keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak
sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang
mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai
kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal
ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung
semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh
karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun keuntungannya
tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi
tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi dan bila nasabah
(tertanggung) untung maka perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan
memakan harta dengan batil karena berisi keuntungan satu pihak diatas
kerugian pihak yang lainnya.
3. Dalam asuransi konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak
mampu membayar ganti rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas
ukuran yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam
asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti
rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan
yang ada dari peran para anggotanya.
4. Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari
selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila
ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada
anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi
konvensional dimiliki perusahaan.
5. Penanggung (al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin Lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu’ammin) adalah pihak luar.
6. Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan
untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk
berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti
kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system
konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan
keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha
asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dari pembayaran premi para nasabahnya.
7. Asuransi ta’awun bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta
gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari
hal-hal tersebut.
8. Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:
a. Pengelola perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah),
mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya dari
pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu karena
mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas
jumlah fee (gaji) tersebut.
b. Pengelola perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk
mendapatkan izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan
mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan
ketentuan mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan
harta asuransi sebagai mudhoorib (pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).
c. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk
pengembangan modal perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa
harta asuransi murni milik nasabah (pembayar premi).
d. Pengelola perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhoorib
dari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal
sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga
bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan
fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka. [15]
Sedangkan hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam
asuransi konvensional adalah semua premi yang dibayar nasabah
(tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal
perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak
ada dua hitungan yang terpisah.
1. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota
syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari
usaha pengembangan modal mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional,
para nasabah tidak dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali
dari keuntungan pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah
yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
2. Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada
hal-hal yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak
memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini. Wabillahittaufiq.
Referensi:
- Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta)
- Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA
- al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA
- Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi.
- Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net)
Footnotes:
[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S Purwodarminto, cetakan ke-8 tahun 1984, Balai Pustaka, hal 63.
[2] Lihat Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Menyoal Asuransi Dalam Islam
[4] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad Tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror wa Atsaruhu fi al-’Uquud, DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien at-Ta’awuni al-Murakkab dalam kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk ekonomi islam, ketetapan dan anjuran Nadwah al-Barkah lil Iqtishad al-Islami hal. 212.
[2] Lihat Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Menyoal Asuransi Dalam Islam
[4] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad Tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror wa Atsaruhu fi al-’Uquud, DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien at-Ta’awuni al-Murakkab dalam kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk ekonomi islam, ketetapan dan anjuran Nadwah al-Barkah lil Iqtishad al-Islami hal. 212.
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasi ulang dari www.ekonomisyariat.com
Dipublikasi ulang dari www.ekonomisyariat.com
0 komentar:
Posting Komentar